IDONESIA adalah negeri dengan wilayah sangat luas yang mengkombinasikan kekayaan laut dan alam, walaupun Indonesia diperkirakan dalam jangka 20-30 tahun lagi menjadi negara Maju, tak dapat dipungkiri hari ini banyak wilayah Indonesia yang masih berupa pedesaan yang menggantungkan penghidupannya pada pengelolaan sumber daya pertanian dan sumberdaya laut, walaupun kita juga menyadari bahwa dengan lambatnya pemerataan pembangunan yang canangkan bangsa ini membuat masyarakat desa terpinggirkan dan sebagian memilih urban ke kota besar. Inilah yang masih menjadi kendala pengembangan komunitas desa.
Di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa pariwisata dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir meningkat sangat signifikan, tentu saja ini menjadi lahan potensial bagi upaya untuk melaksanakan pemerataan ekonomi, ini juga bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi modal untuk dapat menjangkau wilayan pedesaan yang diharapkan dengan pengelolaan yang mengedepankan komunitas masyarakat setempat mampu menggairahkan kehidupan perekonomian yang pada akhirnya memberikan manfaat positif yang dicanangkan.
___
Banyak wisatawan saat ini yang
cenderung menghindari kawasan wisata yang mapan, kemudian mencari kawasan
wisata yang menonjolkan keaslian dan keunikan. Pencarian destinasi wisata baru
tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi wisatawan
terhadap mutu lingkungan. Salah satunya adalah melalui pariwisata pedesaan yang
pada akhir-akhir ini mulai ditingkatkan. Di tengah-tengah animo besar berbagai
pihak untuk mengembangkan desa wisata, perlu diidentifikasi sejumlah isu-isu
krusial pengelolaannya. Isu-isu tersebut bersifat generik dan tentu saja
memerlukan validasi yang lebih tajam. Isu-isu krusial pengelolaan desa wisata
menuntut kita untuk merumuskan sejumlah tidakan antisipatif. Dengan
mempertimbangkan kondisi objektif desa wisata maka optimalisasi pengelolaan
sumberdaya alam dan manusia di lokasi desa wisata dapat dilakukan dan
dikendalikan oleh masyarakat local tanpa didasari oleh berbagai kepentingan politik
apapun.
Pengamatan secara umum
memberikan gambaran bahwa motif berwisata bergeser secara signifikan,
setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Terutama bagi masyarakat di
negara-negara maju yang sangat ketat dengan pengaturan jam kerja dan waktu
liburan, kegiatan berwisata dipandang merupakan ruang sekaligus peluang yang
membebaskan diri dari hidup atau kerja yang monoton (Henning, 1999). Motif
utama berwisata sangat kental dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti
aktualisasi diri, pengayaan pengalaman, kontak sosial yang lebih dalam dan
sebagainya. Konkretnya, wisatawan cenderung meninggalkan produk-produk standar
berskala massal (high volume production of standard commodities) dan
beralih menuju produk-produk unik yang beragam dan bermutu tinggi (high
value production of unique commodities)(Weiler dan Hall, 1992). Banyak
wisatawan menghindari kawasan-kawasan mapan atau tempat yang tingkat
wisatawannya sangat tinggi, kemudian mencari tempat yang menonjolkan keaslian
otentisitas (authenticity) (Reisinger dan Steiner, 2006;
Olsen, 2002), orisinalitas (originality) dan keunikan (uniqueness) lokal.
Pencarian objek wisata yang unik dan
beragam dengan kualitas yang tinggi tadi mengakibatkan daerah-daerah baru,
kawasan pedalaman, atau desa-desa tradisional tidak luput dari sasaran
kunjungan wisatawan. Hal itu dilakukan untuk menemukan objek dan daya
tarik yang unik dan berkualitas yang tidak lagi diberikan oleh destinasi
wisata yang telah mapan atau over user, seperti Pattaya (Thailand),
Cancun (Meksico); atau kuta (Bali) sekalipun. Pencarian destinasi wisata baru
itu dipengaruhi oleh ekspektasiwisatawan
terhadap mutu lingkungan. Mereka menyadari bahwa mutu lingkungan di pedesaan
masih lebih orisinil, lebih sehat dan alami daripada di kawasan perkotaan
(Lewis, 1999).
Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata
Pedesaan
Dalam konteks ini pengembangan pariwisata
pedesaan dipandang cukup signifikan. Pengalaman di negara lain seperti India,
Uganda dan Ceko (Vogels, 2002; Holland, et.al.,2003) menunjukkan kontribusi
penting pariwisata pedesaan terhadap perubahan-perubahan kelembagaan, sosial
dan individu di destinasi pariwisata. Holland dan kawan-kawan (2003), misalnya
mengatakan setidaknya tiga alasan penting pengembangan pariwisata pedesaan,
yaitu:
1. Pariwisata pedesaan mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat miskin.
2. Fakta-bahwa semakin besarnya proporsi
penduduk yang bermukim di perkotaan negara berkembang tidak dengan sendirinya
menghapus kenyataan lain tentang semakin kecilnya peluang masyarakat pedesaan
memanfaatkan input-input pembangunan yang (juga) semakin terbatas. Dikatakan
bahwa salah satu peluang besar bagi masyarakat pedesaan adalah memanfaatkan
sumber daya setempat yang dikelola dalam bentuk usaha pariwisata. Pengembangan
pariwisata pedesaan memiliki kekuatan yang terandalkan karena produk itu
sendiri didatangi oleh- bukan diantarkan kepada – wisatawan, sehingga terbuka
kesempatan yang lebih besar untuk memperluss transaksi jasa di lokasi.
3. Fakta membuktikan bahwa pariwisata
mencakup berbagai jenis dan bentuk usaha, mulai dari skala kecil sampai besar
dan informal hingga formal. Keuntungan lainnya adalah bahwa karakteristik
pariwisata pedesaan selalu melibatkan usaha-usaha yang dikelola oleh masyarakat
setempat, mulai dari penyediaan akomodasi, atraksi dan fasilitas transportasi.
4. Pariwisata pedesaan merupakan salah
satu media yang mampu mengalihkan atau mendistribusi peluang ekonomi dari
daerah perkotaan ke pedesaan.
5. Transfer peluang dan sumberdaya
ekonomi ini penting mengingat kawasan pedesaan masih terperangkap oleh pusaran
kuat kemiskinan yang ditandai antara lain oleh aktivitas nonpertanian yang
lemah, keterbatasan infrastruktur dan akses yang terbatas terhadap jasa-jasa
yang penting. Para ahli (Holland, et.al., 2003) berpendapat bahwa pengembangan
pariwisata pedesaan mampu mengakselerasi:
a)Pertumbuhan, diversifikasi dari kestabilian
ekonomi
b)Perluasan kesempatan kerja untuk
meningkatkan pendapatan
c)Pengurangan potensi migrasi ke kota
sekaligus keseimbangan distribusi penduduk
d)Perbaikan dan pemeliharaan layanan publik
dan infrastruktur dasar
e)Revitalisasi industri kerajinan, tradisi dan
identitas budaya perluasan peluang untuk pertukaran social
f)Perlindungan dan perbaikan lingkungan alam
g)Penguatan pengakuan terhadap potensi dan
kapasitas pedesaan oleh para pengambil keputusan dan perencana ekonomi.
h) Pariwisata pedesaan merupakan satu dari
sedikit pilihan yang laik untuk mengakselerasi perkembangan ekonomi pedesaan.
Melalui pariwisata, di kawasan
pedesaan akan terjadi perbaikan infrastruktur, aliran modal masuk,
kewirausahaan, dan arus barang serta jasa. Hal yang perlu diamati secara kritis
pada titik ini adalah jenis dan skala barang dan modal yang dialirkan tersebut.
Sumber daya itu harus ditujukan pada peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan.
Daerah pedesaan biasanya memiliki daya saing yang lemah untuk menarik investasi
nonpertanian yang mampu mendukung sektor primer tersebut. Di sini pariwisata
lebih sesuai(appropriate) dengan kondisi lingkungan pedesaan,
terutama dikaitkan dengan tren pasar yang lebih menyukai atraksi-atraksi alam
dan living culture yang otentik. Berhadapan dengan
keterbatasan sumberdaya yang sesuai dengan nature pedesaan
tadi, maka peluang pengembangan desa wisata semakin terbuka lebar (Holland,
et.al, 2003). Peluang ini semakin menjanjikan ketika akses dan infrastruktur
dasar sudah tersedia.
Jika daya saing diterima sebagai faktor
keberlanjutan desa wisata, maka pengelolaan sumberdayanya perlu ditangani
secara optimal. Untuk itu ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil.
Perencanaan tentulah menjadi kata kunci di sini (Damanik dan Weber, 2006).
Pertama, mengidentifikasi sumberdaya
(baca: daya tarik utama) yang menjadi potensi keunggulan desa wisata. Pilihan
ini didasarkan pada pertimbangan yang sangat rasional, jika perlu bahkan
melalui studi kelayakan agar dapat menjamin kalau pilihan pengembangan tersebut
tidak meleset dan mubazir. Salah satu sumberdaya yang potensial dikembangkan
adalah budaya lokal. Kehidupan sehari-hari mungkin tidak berarti apa-apa atau
ditafsirkan oleh sebagian penduduk setempat sebagai simbol
keterbelakangan, ndeso. Benar, bahwa membajak sawah, misalnya,
tidak tampak menarik, bahkan kotor berlumpur. Namun demikian ia menjadi daya
tarik yang kuat apabila dikemas sesuai dengan taste wisatawan. Teknik
pengemasan sangat menentukan daya tarik wisata. Bagi kalangan usia muda
perkotaan yang hampir tiap jam diserbu oleh produk-produk modernisme, aktivitas
membajak sawah tetaplah sebuah atraksi yang unik.
Kedua, menegaskan tugas, tanggungjawab
dan hak-hak pemangku kepentingan. Meskipun ada success story desa
wisata yang dikembangkan seeara individual, tetapi dewasa ini pengelolaan
secara kolektif cenderung lebih prospektif. Jadi, para pemangku kepentingan
harus diajak duduk bersama untuk mendesain proyek desa wisata. Bahkan
rekomendasi merekalah yang menjadi patokan, apakah potensi daya tarik itu perlu
dikembangkan atau tidak. Dalam hal ini pelibatan masyarakat sebagai salah satu
pemangku kepentingan merupakan syarat mutlak. Pengabaian partisipasi inklusif
penduduk setempat niscaya akan menciptakan marjinalisasi yang akut dan
eksploitatif (Karim, 2008).
Ketiga, memilih prioritas potensi
atraksi yang akan dikembangkan. Tidak semua potensi harus dikembangkan
sekaligus. Pilihan pada atraksi yang paling menarik dan manageable merupakan
persoalan sendiri bagi masyarakat pedesaan. Ada pandangan keliru, bahwa potensi
sumberdaya pariwisata harus dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pengamatan secara umum menunjukkan, bahwa
masyarakat desa masih mengalami kesulitan mengelola begitu banyak jenis usaha
dan begitu rumit pekerjaan hospitality yang baru dikenalnya. Lagi pula,
mengelola bisnis pariwisata tidak semudah mengelola usaha tani (Rahayu, 2003).
Masyarakat yang terbiasa dengan langgam kehidupan agraris tidak dapat begitu
saja berperan sebagai masyarakat penyedia jasa wisata, sebab kedua bidang itu
memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Sebagai perbandingan, terlambat satu
jam menggembala ternak tidak akan berakibat fatal bagi siklus pekerjaan
pertanian dan produksi usaha tani. Sebaliknya terlambat satu jam menyiapkan
sarapan bagi wisatawan jelas sangat riskan bagi seluruh kegiatan pariwisata
setempat.
Isu – Isu Krusial
Di tengah-tengah animo besar berbagai pihak
unluk mengembangkan desa wisata, kita dapat mengidentifikasi sejumlah isu-isu
krusial pengelolaannya. Isu-isu ini bersifat generik dan tentu saja memerlukan
validasi yang lebih tajam.
Pertama, secara tidak sengaja desa wisata yang
sudah berkembang mudah terkena “penetrasi modal luar”, sehingga formatnya
berubah dari kegiatan dan modal berskala kecil ke “kegiatan kecil dengan modal
berskala menengah-besar”. Pada awalnya masyarakat lokal menginisiasi
pengembangan fasilitas dasar di desa, sekaligus menyediakan fasilitas atraksi maupun
akomodasi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, penyediaan fasilitas-fasilitas
tersebut diambil-alih aleh pemodal besar, misalnya dengan mendirikan akomodasi
eksklusif, yang pada gilirannya mempersempit kesempatan masyarakat lokal untuk
mengembangkan usaha. Pola “penetrasi modal luar” juga dapat terjadi dalam
bentuk jaringan permodalan, di mana pemilik modal berinvestasi di berbagai
jenis usaha pariwisata di desa, sementara masyarakat berperan sebagai mitranya.
Kedua, desa wisata berpotensi terjebak
oleh stagnasi. Setelah sekian lama dikunjungi wisatawan, aktivitas pariwisata
semakin redup atau “hidup segan, mati entah kapan”. Hal ini muncul akibat
terbatasnya inovasi pengembangan atraksi. Sejak dipasarkan sebagai destinasi,
desa wisata tetap menawarkan atraksi yang “itu-itu saja”, kurang terorganisir
(atraksi ditata bagus ketika wisatawan menjelang datang), kinerjanya jarang
dievaluasi. Kasus di Tunisia dilaporkan oleh Ludwig (1990) dengan menyebutkan
monotoni atraksi sebagai ancaman serius bagi aktraktivitas desa-desa wisata
negeri tersebut. Pengelola desa wisata terlalu cepat puas ketika rombongan
wisatawan berkunjung dalam jumlah besar dalam jangka pendek, kemudian tidak
tahu ingin berbuat apa ketika masa kunjungan berlalu. Hal ini diperburuk oleh program
pemasaran yang tidak tepat membidik sasaran. Tidak jarang juga pengelola desa
wisata cenderung menunggu pasar daripada proaktif menyisir segmen pasar
potensial.
Ketiga, dalam suatu kawasan destinasi,
desa wisata cenderung berkembang secara kuantitatif, tetapi lemah dalam daya
saing. Terinspirasi oleh kesuksesan yang dicapai oleh satu desa wisata, maka
desa-desa lain seakan berlomba untuk menjadi destinasi wisata baru. Penataan
fisik dilakukan dengan cara mobilisasi warga desa. Sepintas hal ini tampak sebagai
suatu bukti penyiapan diri menyongsong geliat pariwisata yang menjanjikan
keuntungan besar atau sikap respansif desa terhadap induksi perubahan-perubahan
sosial; ekonomi dan budaya di desa. Namun dalam banyak kasus sebenarnya upaya
itu lebih dipicu kegairahan memperoleh simbol status baru yang lebih bergengsi;
yakni desa wisata. Tentu patut dibanggakan kalau semakin banyak desa wisata
yang laik jual dan laik-kunjung. Sebaliknya akan sangat kontraproduktif,
apabila penamaan desa wisata hanya mengisi kekosongan angka-angka statistik.
Faktanya, tidak sedikit dari desa-desa wisata baru ini mengimitasi atraksi dan
produk-produk wisata yang ditawarkan oleh desa wisata sebelumnya. Akibatnya,
bukan daya saingnya yang dibangun, tetapi aura persaingan antar-desa wisata
yang semakin tajam dan condong tidak sehat.
Keempat, desa wisata haruslah dikelola
oleh sumberdaya manusia yang memiliki karakter entrepreneur.
Pariwisata apa pun bentuknya adalah entitas bisnis yang menuntut kejelian
pengelolanya menciptakan dan menangkap peluang keuntungan. Pengelola yang
memiliki semangat wirausaha dan kemampuan menjalankan praktek bisnis merupakan
salah satu faktor penentu sukses desa wisata. Di pedesaan Australia, Ollenburg
(2006) menemukan kisah-kisah keberhasilan desa wisata berbasis pertanian sangat
terkait dengan spirit wirausaha yang kuat di kalangan penggiat pariwisata.
Kalangan petani melihat pariwisata bukan sebagai pelarian aktivitas ekonomi,
tetapi menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pertanian keluarga. Barangkali
hal ini berbeda dengan kondisi di desa-desa kita yang menempatkan pariwisata
sebagai aktivitas pendamping dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitas
pertanian. Pada umumnya sumberdaya manusia yang mumpuni relatif sulit ditemukan
di desa karena lebih tertarik dengan daya pikat-atau terbawa arus migrasi
ke-perkotaan.
Kelima, desa wisata cenderung mudah terkena
dampak lingkungan perkembangan pariwisata itu sendiri. Meskipun kesadaran
lingkungan pada masyarakat setempat eukup baik, misalnya mengkonservasi lahan
dan hutan di sekitar desa, namun hal itu dilakukan karena nilai tambahnya tidak
sepadan dengan keuntungan dari pemanfaatannya. Kesadaran ini dapat berubah
cepat, ketika lahan tersebut memberikan keuntungan ekonomi lebih tinggi,
misalnya melalui pembangunan amenitas dan fasilitas pariwisata lainnya. Di
samping itu, pemanfaatan bahan baku lokal semakin terbatas, sedangkan
penggunaan bahan baku asing sering diutamakan di dalam pembangunan
infrastruktur pariwisata, baik karena alasan kepraktisan, maupun karena tututan
imej modern.
Keenam, distribusi dan redistribusi
sumberdaya pariwisata yang tidak seimbang antar-warga masyarakat. Barangkali
struktur sosial masyarakat desa lebih sederhana daripada masyarakat kota, namun
relasi kekuasaan, budaya dan ekonomi mereka cukup rumit. Okupasi mereka tak
lagi seragam, tetapi beragam, meskipun komposisinya tidak proporsional.
Misalnya, sebagian besar bergantung pada pertanian, tetapi ada sebagjan kecil
lainnya sudah bekerja di sektor off-farm dan nonfarm.
Jelas bahwa nature dan pengalaman kerja mereka berbeda dengan
rekannya di sektor pertanian. Relasi-relasi okupasional dan ekonomi seperti itu
juga dipraktekkan dalam pengelolaan desa wisata. Sebagaimana digambarkan oleh
Page dan Getz (1997), pariwisata pedesaan lebih banyak dimotori oleh sekelompok
orang yang memiliki sumberdaya ekonomi (lahan, modal, bergerak, status
pekerjaan yang baik) dan modal sosial (jaringan sosial, pengaruh, otoritas,
pendidikan, status dan kedudukan sosial) di atas rata-rata warga desa. Hal ini
berakibat pada ketimpangan distribusi sumberdaya pariwisata antar anggota
masyarakat yang tidak jarang berujung pada disharmoni aatau bahkan konflik.
Oleh sebab itu, penduduk miskin yang kebetulan memiliki modal sosial dari
ekonomi yang terbatas akan sangat sulit menjadi pelaku utama atau pihak yang
diberdayakan melalui pariwisata. Redistribusi sumberdaya pariwisata, atau
jelasnya arus uang dan jasa yang masuk ke desa melalui kunjungan wisatawan,
berpeluang untuk tidak menjangkau segmen penduduk miskin.
Tabel 1. Sumber Pendanaan Usaha
Pariwisata
di Negara Maju dan Berkembang
No
|
Sumber Pendanaan
|
Negara Maju (%)
|
Negara Berkembang (%)
|
Total (%)
|
1
|
Dana sendiri
|
57
|
58
|
58
|
2
|
Keluarga dan
kerabat
|
1
|
8
|
6
|
3
|
Investor
|
10
|
9
|
9
|
4
|
Pinjaman dari
bank
|
21
|
11
|
14
|
5
|
Pinjaman dari
pemerintah
|
3
|
2
|
2
|
6
|
Pinjaman
pribadi
|
4
|
4
|
4
|
7
|
Lainnya
|
4
|
8
|
7
|
Total
|
100
|
100
|
100
|
|
Jlh Usaha
ekowisata
|
25
|
74
|
99
|
|
Sumber : Sanders, 200:56
|
Peran bank tergolong masih kecil, kecuali jika
unit usaha yang dikelola sudah mapan. Berbeda dengan tipe usaha lain seperti
perdagangan, hasil usaha pariwisata tidak dapat dipetik dalam jangka pendek
karena harus melalui rangkaian promosi yang khusus. Hal ini dipersulit lagi
oleh fluktuasi pasar yang cukup tinggi. Selain membutuhkan waktu panjang,
keberhasilan promosi usaha akomodasi di pedesaan tidak semata ditentukan oleh
jenis dan mutu akomodasi itu sendiri, seperti bangunan fisik dan layanan bagi
tamu, tetapi juga oleh realitas daya tarik destinasi secara keseluruhan. Semua
ini sangat menentukan kemapanan usaha pariwisata.
Langkah Antisipasi
Isu-isu krusial pengelolaan desa wisata
menuntut kita untuk merumuskan sejumlah tidakan antisipatif. Dengan
mempertimbangkan kondisi objektif sebagian besar desa-desa wisata saat ini dan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya yang tersedia desa
wisata agar dapat dilakukan dan dikendalikan oleh masyarakat lokal, maka
paparan in mengusulkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Pertama, idealnya usaha tersebut berskala
kecil agar mampu menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengasah ketrampilan
bisnis (Nasikun, 1997; WTO, 2003). Salah satu bentuk konkretnya adalah jasa
akomodasi, seperti homestay atau jenis usaha lain yang
berskala kecil. Seperti umum diketahui, bahwa usaha-usaha kecil nonpertanian
sudah cukup lama berkembang di pedesaan dan memberikan kontribusi penting bagi
diversifikasi dan peningkatan pendapatan rumahtangga (Sawit, et.al, 1993;
Effendi, et.al, 1996; Abdullah, et.al, 1995). Meskipun usaha-usaha demikian
umumnya berskala mikro, namun pengelolanya memiliki ketrampilan khusus,
keuletan, kerja keras yang produktif di dalam menjalankan usahanya. Hal ini
dapat lebih mudah ditransformasikan ke sektor jasa, seperti usaha pariwisata.
Kedua, terkait dengan itu, usaha
pariwisata di desa sebaiknya tidak padat modal (capital
intensive), tetapi berbasis padat karya (labour
intensive). Besaran modal ini lebih sesuai dengan kondisi umum yang
dihadapi oleh pengelola usaha pariwisata tentang kesulitan memperoleh modal.
Sebaliknya, membiarkan modal besar sebagai kekuatan pengembangan akan
mengakibatkan tersingkirnya penduduk lokal dari arena kompetisi.
Ketiga, di dalam pengelolaan usaha
pariwisata sebaiknya menggunakan tenaga kerja setempat, agar ancaman
marjinalisasi penduduk lokal dalam pengembangan pariwisata pedesaan dapat
dihindari. Memang syarat pemanfaatan tenaga kerja lokal ini cukup dilematis
ketika berhadapan denean realitas mutu atau kompetensi yang masih rendah. Di
sisi lain keterbatasan jumlah tenaga kerja trampil ini mengakibatkan
okupasi-okupasi strategis di sektor pariwisata dikuasai oleh kaum pendatang
(Vorlaufer, 1979; Damanik, 2001; Karim, 2008). Oleh sebab itu harus dicari
solusi cerdas berupa pemberian pelatihan yang berorientasi pada kompetensi
teknis bagi tenaga kerja lokal.
Keempat, pengelolaan desa wisata sedapat
mungkin menggunakan bahan baku lokal. Penggunaan bahan baku lokal memiliki
manfaat ganda, yakni memberikan efek atau nilai ekonomi sumberdaya lokal dan
menguatkan citra lokal dalam desa wisata. Banyak contoh positif maupun negatif
pengembangan desa wisata yang terkait dengan bahan baku lokal ini dengan segala
konsekuensi yang menyertainya. Di sebuah desa wisata di Sumba Barat Daya,
terdapat bangunan akomodasi yang 90 persen berbahan baku lokal, mulai dari lantai,
dinding, tiang, atap, pintu sampai perlengkapan tidur. Bambu, batang kelapa,
pasir, dan ilalang yang tersedia melimpah menjadi lebih bernilai dari
sebelumnya dan masyarakat setempat menikmati keuntungan dari pemanfaatan bahan
baku tersebut. Berbeda dengan itu di Nias, masyarakat terlanjur gandrungmenggunakan
bahan baku asing, seperti seng, asbes, beton dan kaca sebagai bahan bangunan
akomodasi yang jelas bukan produk lokal, melainkan bahan yang didatangkan dari
daratan Sumatera dengan biaya tinggi, Bisa dipastikan bahwa potensi rembesan
keluar (leakages) dari hasil pariwisata setempat cukup besar,
sementara peningkatan nilai ekonomi komoditas lokal menjadi macet.
Kelima, pengelolaan desa wisata
sebaiknya mampu menekan potensi pencemaran lingkungan dan eksploitasi
sumberdaya lokal. Salah satu pilar kekuatan desa wisata adalah alam yang
relatif asri dan lestari. Penggerusan kelestarian alam atas alasan apa pun
pasti akan menjadi bumerang yang mematikan bagi desa wisata. Oleh sebab itu
keseimbangan pemanfaatan kawasan menjadi syarat penting. Daerah pedesaan yang
menawarkan pertanian sebagai basis atraksi wisata harus dikendalikan untuk
tetap menjaga keseimbangan luas area pertanian dengan zona pengembangan
infrastruktur pariwisata. Pemanfaatan sumberdaya lokal, misalnya air, yang
digunakan baik untuk keperluan pertanian maupun pariwisata perlu dikendalikan
agar tidak mematikan salah satu atau kedua aktivitas tersebut. Pedesaan yang
mengembangkan pariwisata pantai dan bahari harus mampu menciptakan langkah pelestarian
lingkungan, misalnya dengan membangun instalasi limbah cair dan padat,
perluasan zona sempadan pantai yang steril dari bangunan buatan, ekspansi
tanaman penyangga abrasi dan sebagainya.
Keenam, desa wisata seharusnya mampu
membuka peluang kerja dan berusaha bagi banyak kelompok masyarakat. Pariwisata
pedesaan harus diarahkan untuk memberagamkan kesempatan kerja dan keberagaman
pekerjaan tersebut harus pula ditujukan bagi masyarakat banyak, khususnya
kalangan perempuan. Asumsi yang mengatakan pariwisata mampu menciptakan
kesempatan kerja harus dibuktikan dengan tingkat presisi yang tinggi, tidak
hahya dalam hal kuantitas dan kualitas, tetapi juga dalam hal efektivitas
menjangkau kelompok masyarakat yang sering luput
dari sasaran perubahan. Di daerah pedesaan yang relatif tradisional, misalnya
peran perempuan masih sering terlihat di bawah bayang-bayang laki-laki. Situasi
yang sama bisa merambat ke dalam kegiatan di sektor pariwisata. Para ahli sudah
lama mengisyaratkan masalah ketimpangan jender yang menyolok di dalam pasar
kerja pariwisata. (Long dan Kindon, 1997; Swain, 1995; Scott, 1997; Chant,
1997; Purcell, 1997) yang memosisikan perempuan sebagai tenaga kerja di lapisan
bawah dengan upah rendah, terkonsentrasi di sektor informal dan usaha kecil
(Long dan Kindon, 1997),meskipun seringkali kualifikasi mereka sama
dengan laki-laki (Purcell, 1997; Damanik, 1999), Posisi yang kurang lebih sama
juga diduduki oleh perempuan di dalam bisnis pariwisata milik keluarga, yang ditandai
oleh labilitas pekerjaan yang tinggi (Scott, 2007), ditambah dengan penghargaan
yang rendah atas kinerja mereka. Solusi untuk mengurangi hal ini sebaiknya
melekat di dalam rancangan pengembangan desa wisata, antara lain dengan
menegaskan prioritas rekrutmen tenaga kerja bagi kalangan perempuan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengelolaan desa wisata terkait dengan
konsistensi dan komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan. Pengelola perlu
menyadari bahwa desa wisata memiliki karakter yang berbeda dengan desa-desa
konvensional lainnya, sehingga keuletan, kerjasama, kemampuan manajerial, sikap
kewirausahaan dan profesionalisme yang kuat selalu menjadi faktor kunci di
dalam memajukan desa wisata. Pengelolaan tidak bisa dilakukan secara `hit and
run” dalam arti berbenah ketika musim telah tiba, lalu berdiam diri ketika
wisatawan sepi. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, pengelolaan desa wisata
sangatlah rumit dan hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Oleh
sebab itu desakan terhadap pengembangan yang didasari oleh eforia terhadap desa
wisata, apalagi untuk kepentingan politik (baca: proyek-proyek pemerintah dan
lembaga penyandang dana lainnya), niscaya akan berdampak buruk dalam jangka
panjang (Lewis, 1999), karena lebih berorientasi pada pencapaian target-target
kuantitatif dan pembentukan kebanggaan semu yang sering tidak memberikan
kontribusi positif bagi pengembangan masyarakat desa itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar