Selasa, 25 Februari 2014

Isu-isu Krusial dalam Pengelolaan Desa Wisata

IDONESIA adalah negeri dengan wilayah sangat luas yang mengkombinasikan kekayaan laut dan alam, walaupun Indonesia diperkirakan dalam jangka 20-30 tahun lagi menjadi negara Maju, tak dapat dipungkiri hari ini banyak wilayah Indonesia yang masih berupa pedesaan yang menggantungkan penghidupannya pada pengelolaan sumber daya pertanian dan sumberdaya laut, walaupun kita juga menyadari bahwa dengan lambatnya pemerataan pembangunan yang canangkan bangsa ini membuat masyarakat desa terpinggirkan dan sebagian memilih urban ke kota besar. Inilah yang masih menjadi kendala pengembangan komunitas desa.
Di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa pariwisata dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir meningkat sangat signifikan, tentu saja ini menjadi lahan potensial bagi upaya untuk melaksanakan pemerataan ekonomi, ini juga bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi modal untuk dapat menjangkau wilayan pedesaan yang diharapkan dengan pengelolaan yang mengedepankan komunitas masyarakat setempat mampu menggairahkan kehidupan perekonomian yang pada akhirnya memberikan manfaat positif yang dicanangkan.

___

Banyak wisatawan saat ini yang cenderung menghindari kawasan wisata yang mapan, kemudian mencari kawasan wisata yang menonjolkan keaslian dan keunikan. Pencarian destinasi wisata baru tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi wisatawan terhadap mutu lingkungan. Salah satunya adalah melalui pariwisata pedesaan yang pada akhir-akhir ini mulai ditingkatkan. Di tengah-tengah animo besar berbagai pihak untuk mengembangkan desa wisata, perlu diidentifikasi sejumlah isu-isu krusial pengelolaannya. Isu-isu tersebut bersifat generik dan tentu saja memerlukan validasi yang lebih tajam. Isu-isu krusial pengelolaan desa wisata menuntut kita untuk merumuskan sejumlah tidakan antisipatif. Dengan mempertimbangkan kondisi objektif desa wisata maka optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam dan manusia di lokasi desa wisata dapat dilakukan dan dikendalikan oleh masyarakat local tanpa didasari oleh berbagai kepentingan politik apapun.
Pengamatan secara umum memberikan gambaran bahwa motif berwisata bergeser secara signifikan, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Terutama bagi masyarakat di negara-negara maju yang sangat ketat dengan pengaturan jam kerja dan waktu liburan, kegiatan berwisata dipandang merupakan ruang sekaligus peluang yang membebaskan diri dari hidup atau kerja yang monoton (Henning, 1999). Motif utama berwisata sangat kental dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti aktualisasi diri, pengayaan pengalaman, kontak sosial yang lebih dalam dan sebagainya. Konkretnya, wisatawan cenderung meninggalkan produk-produk standar berskala massal (high volume production of standard commodities) dan beralih menuju produk-produk unik yang beragam dan bermutu tinggi (high value production of unique commodities)(Weiler dan Hall, 1992). Banyak wisatawan menghindari kawasan-kawasan mapan atau tempat yang tingkat wisatawannya sangat tinggi, kemudian mencari tempat yang menonjolkan keaslian otentisitas (authenticity) (Reisinger dan Steiner, 2006; Olsen, 2002), orisinalitas (originality) dan keunikan (uniqueness) lokal.
Pencarian objek wisata yang unik dan beragam dengan kualitas yang tinggi tadi mengakibatkan daerah-daerah baru, kawasan pedalaman, atau desa-desa tradisional tidak luput dari sasaran kunjungan wisatawan. Hal itu dilakukan untuk menemukan objek dan daya tarik  yang unik dan berkualitas yang tidak lagi diberikan oleh destinasi wisata yang telah mapan atau over user, seperti Pattaya (Thailand), Cancun (Meksico); atau kuta (Bali) sekalipun. Pencarian destinasi wisata baru itu dipengaruhi oleh ekspektasiwisatawan terhadap mutu lingkungan. Mereka menyadari bahwa mutu lingkungan di pedesaan masih lebih orisinil, lebih sehat dan alami daripada di kawasan perkotaan (Lewis, 1999).

Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata Pedesaan
Dalam konteks ini pengembangan pariwisata pedesaan dipandang cukup signifikan. Pengalaman di negara lain seperti India, Uganda dan Ceko (Vogels, 2002; Holland, et.al.,2003) menunjukkan kontribusi penting pariwisata pedesaan terhadap perubahan-perubahan kelembagaan, sosial dan individu di destinasi pariwisata. Holland dan kawan-kawan (2003), misalnya mengatakan setidaknya tiga alasan penting pengembangan pariwisata pedesaan, yaitu:
1.      Pariwisata pedesaan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat miskin.
2.      Fakta-bahwa semakin besarnya proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan negara berkembang tidak dengan sendirinya menghapus kenyataan lain tentang semakin kecilnya peluang masyarakat pedesaan memanfaatkan input-input pembangunan yang (juga) semakin terbatas. Dikatakan bahwa salah satu peluang besar bagi masyarakat pedesaan adalah memanfaatkan sumber daya setempat yang dikelola dalam bentuk usaha pariwisata. Pengembangan pariwisata pedesaan memiliki kekuatan yang terandalkan karena produk itu sendiri didatangi oleh- bukan diantarkan kepada – wisatawan, sehingga terbuka kesempatan yang lebih besar untuk memperluss transaksi jasa di lokasi.
3.      Fakta membuktikan bahwa pariwisata mencakup berbagai jenis dan bentuk usaha, mulai dari skala kecil sampai besar dan informal hingga formal. Keuntungan lainnya adalah bahwa karakteristik pariwisata pedesaan selalu melibatkan usaha-usaha yang dikelola oleh masyarakat setempat, mulai dari penyediaan akomodasi, atraksi dan fasilitas transportasi.
4.      Pariwisata pedesaan merupakan salah satu media yang mampu mengalihkan atau mendistribusi peluang ekonomi dari daerah perkotaan ke pedesaan.
5.      Transfer peluang dan sumberdaya ekonomi ini penting mengingat kawasan pedesaan masih terperangkap oleh pusaran kuat kemiskinan yang ditandai antara lain oleh aktivitas nonpertanian yang lemah, keterbatasan infrastruktur dan akses yang terbatas terhadap jasa-jasa yang penting. Para ahli (Holland, et.al., 2003) berpendapat bahwa pengembangan pariwisata pedesaan mampu mengakselerasi:
a)Pertumbuhan, diversifikasi dari kestabilian ekonomi
b)Perluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan pendapatan
c)Pengurangan potensi migrasi ke kota sekaligus keseimbangan distribusi penduduk
d)Perbaikan dan pemeliharaan layanan publik dan infrastruktur dasar
e)Revitalisasi industri kerajinan, tradisi dan identitas budaya perluasan peluang untuk pertukaran social
f)Perlindungan dan perbaikan lingkungan alam
g)Penguatan pengakuan terhadap potensi dan kapasitas pedesaan oleh para pengambil keputusan dan perencana ekonomi.
h) Pariwisata pedesaan merupakan satu dari sedikit pilihan yang laik untuk mengakselerasi perkembangan ekonomi pedesaan.
Melalui pariwisata, di kawasan pedesaan akan terjadi perbaikan infrastruktur, aliran modal masuk, kewirausahaan, dan arus barang serta jasa. Hal yang perlu diamati secara kritis pada titik ini adalah jenis dan skala barang dan modal yang dialirkan tersebut. Sumber daya itu harus ditujukan pada peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan. Daerah pedesaan biasanya memiliki daya saing yang lemah untuk menarik investasi nonpertanian yang mampu mendukung sektor primer tersebut. Di sini pariwisata lebih sesuai(appropriate) dengan kondisi lingkungan pedesaan, terutama dikaitkan dengan tren pasar yang lebih menyukai atraksi-atraksi alam dan living culture yang otentik. Berhadapan dengan keterbatasan sumberdaya yang sesuai dengan nature pedesaan tadi, maka peluang pengembangan desa wisata semakin terbuka lebar (Holland, et.al, 2003). Peluang ini semakin menjanjikan ketika akses dan infrastruktur dasar sudah tersedia.
Jika daya saing diterima sebagai faktor keberlanjutan desa wisata, maka pengelolaan sumberdayanya perlu ditangani secara optimal. Untuk itu ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil. Perencanaan tentulah menjadi kata kunci di sini (Damanik dan Weber, 2006).
Pertama, mengidentifikasi sumberdaya (baca: daya tarik utama) yang menjadi potensi keunggulan desa wisata. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan yang sangat rasional, jika perlu bahkan melalui studi kelayakan agar dapat menjamin kalau pilihan pengembangan tersebut tidak meleset dan mubazir. Salah satu sumberdaya yang potensial dikembangkan adalah budaya lokal. Kehidupan sehari-hari mungkin tidak berarti apa-apa atau ditafsirkan oleh sebagian penduduk setempat sebagai simbol keterbelakangan, ndeso. Benar, bahwa membajak sawah, misalnya, tidak tampak menarik, bahkan kotor berlumpur. Namun demikian ia menjadi daya tarik yang kuat apabila dikemas sesuai dengan taste wisatawan. Teknik pengemasan sangat menentukan daya tarik wisata. Bagi kalangan usia muda perkotaan yang hampir tiap jam diserbu oleh produk-produk modernisme, aktivitas membajak sawah tetaplah sebuah atraksi yang unik.
Kedua, menegaskan tugas, tanggungjawab dan hak-hak pemangku kepentingan. Meskipun ada success story desa wisata yang dikembangkan seeara individual, tetapi dewasa ini pengelolaan secara kolektif cenderung lebih prospektif. Jadi, para pemangku kepentingan harus diajak duduk bersama untuk mendesain proyek desa wisata. Bahkan rekomendasi merekalah yang menjadi patokan, apakah potensi daya tarik itu perlu dikembangkan atau tidak. Dalam hal ini pelibatan masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan merupakan syarat mutlak. Pengabaian partisipasi inklusif penduduk setempat niscaya akan menciptakan marjinalisasi yang akut dan eksploitatif (Karim, 2008).
Ketiga, memilih prioritas potensi atraksi yang akan dikembangkan. Tidak semua potensi harus dikembangkan sekaligus. Pilihan pada atraksi yang paling menarik dan manageable merupakan persoalan sendiri bagi masyarakat pedesaan. Ada pandangan keliru, bahwa potensi sumberdaya pariwisata harus dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pengamatan secara umum menunjukkan, bahwa masyarakat desa masih mengalami kesulitan mengelola begitu banyak jenis usaha dan begitu rumit pekerjaan hospitality yang baru dikenalnya. Lagi pula, mengelola bisnis pariwisata tidak semudah mengelola usaha tani (Rahayu, 2003). Masyarakat yang terbiasa dengan langgam kehidupan agraris tidak dapat begitu saja berperan sebagai masyarakat penyedia jasa wisata, sebab kedua bidang itu memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Sebagai perbandingan, terlambat satu jam menggembala ternak tidak akan berakibat fatal bagi siklus pekerjaan pertanian dan produksi usaha tani. Sebaliknya terlambat satu jam menyiapkan sarapan bagi wisatawan jelas sangat riskan bagi seluruh kegiatan pariwisata setempat.
Isu – Isu Krusial
Di tengah-tengah animo besar berbagai pihak unluk mengembangkan desa wisata, kita dapat mengidentifikasi sejumlah isu-isu krusial pengelolaannya. Isu-isu ini bersifat generik dan tentu saja memerlukan validasi yang lebih tajam.
Pertama, secara tidak sengaja desa wisata yang sudah berkembang mudah terkena “penetrasi modal luar”, sehingga formatnya berubah dari kegiatan dan modal berskala kecil ke “kegiatan kecil dengan modal berskala menengah-besar”. Pada awalnya masyarakat lokal menginisiasi pengembangan fasilitas dasar di desa, sekaligus menyediakan fasilitas atraksi maupun akomodasi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, penyediaan fasilitas-fasilitas tersebut diambil-alih aleh pemodal besar, misalnya dengan mendirikan akomodasi eksklusif, yang pada gilirannya mempersempit kesempatan masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha. Pola “penetrasi modal luar” juga dapat terjadi dalam bentuk jaringan permodalan, di mana pemilik modal berinvestasi di berbagai jenis usaha pariwisata di desa, sementara masyarakat berperan sebagai mitranya.
Kedua, desa wisata berpotensi terjebak oleh stagnasi. Setelah sekian lama dikunjungi wisatawan, aktivitas pariwisata semakin redup atau “hidup segan, mati entah kapan”. Hal ini muncul akibat terbatasnya inovasi pengembangan atraksi. Sejak dipasarkan sebagai destinasi, desa wisata tetap menawarkan atraksi yang “itu-itu saja”, kurang terorganisir (atraksi ditata bagus ketika wisatawan menjelang datang), kinerjanya jarang dievaluasi. Kasus di Tunisia dilaporkan oleh Ludwig (1990) dengan menyebutkan monotoni atraksi sebagai ancaman serius bagi aktraktivitas desa-desa wisata negeri tersebut. Pengelola desa wisata terlalu cepat puas ketika rombongan wisatawan berkunjung dalam jumlah besar dalam jangka pendek, kemudian tidak tahu ingin berbuat apa ketika masa kunjungan berlalu. Hal ini diperburuk oleh program pemasaran yang tidak tepat membidik sasaran. Tidak jarang juga pengelola desa wisata cenderung menunggu pasar daripada proaktif menyisir segmen pasar potensial.
Ketiga, dalam suatu kawasan destinasi, desa wisata cenderung berkembang secara kuantitatif, tetapi lemah dalam daya saing. Terinspirasi oleh kesuksesan yang dicapai oleh satu desa wisata, maka desa-desa lain seakan berlomba untuk menjadi destinasi wisata baru. Penataan fisik dilakukan dengan cara mobilisasi warga desa. Sepintas hal ini tampak sebagai suatu bukti penyiapan diri menyongsong geliat pariwisata yang menjanjikan keuntungan besar atau sikap respansif desa terhadap induksi perubahan-perubahan sosial; ekonomi dan budaya di desa. Namun dalam banyak kasus sebenarnya upaya itu lebih dipicu kegairahan memperoleh simbol status baru yang lebih bergengsi; yakni desa wisata. Tentu patut dibanggakan kalau semakin banyak desa wisata yang laik jual dan laik-kunjung. Sebaliknya akan sangat kontraproduktif, apabila penamaan desa wisata hanya mengisi kekosongan angka-angka statistik. Faktanya, tidak sedikit dari desa-desa wisata baru ini mengimitasi atraksi dan produk-produk wisata yang ditawarkan oleh desa wisata sebelumnya. Akibatnya, bukan daya saingnya yang dibangun, tetapi aura persaingan antar-desa wisata yang semakin tajam dan condong tidak sehat.
Keempat, desa wisata haruslah dikelola oleh sumberdaya manusia yang memiliki karakter entrepreneur. Pariwisata apa pun bentuknya adalah entitas bisnis yang menuntut kejelian pengelolanya menciptakan dan menangkap peluang keuntungan. Pengelola yang memiliki semangat wirausaha dan kemampuan menjalankan praktek bisnis merupakan salah satu faktor penentu sukses desa wisata. Di pedesaan Australia, Ollenburg (2006) menemukan kisah-kisah keberhasilan desa wisata berbasis pertanian sangat terkait dengan spirit wirausaha yang kuat di kalangan penggiat pariwisata. Kalangan petani melihat pariwisata bukan sebagai pelarian aktivitas ekonomi, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pertanian keluarga. Barangkali hal ini berbeda dengan kondisi di desa-desa kita yang menempatkan pariwisata sebagai aktivitas pendamping dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitas pertanian. Pada umumnya sumberdaya manusia yang mumpuni relatif sulit ditemukan di desa karena lebih tertarik dengan daya pikat-atau terbawa arus migrasi ke-perkotaan.
Kelima, desa wisata cenderung mudah terkena dampak lingkungan perkembangan pariwisata itu sendiri. Meskipun kesadaran lingkungan pada masyarakat setempat eukup baik, misalnya mengkonservasi lahan dan hutan di sekitar desa, namun hal itu dilakukan karena nilai tambahnya tidak sepadan dengan keuntungan dari pemanfaatannya. Kesadaran ini dapat berubah cepat, ketika lahan tersebut memberikan keuntungan ekonomi lebih tinggi, misalnya melalui pembangunan amenitas dan fasilitas pariwisata lainnya. Di samping itu, pemanfaatan bahan baku lokal semakin terbatas, sedangkan penggunaan bahan baku asing sering diutamakan di dalam pembangunan infrastruktur pariwisata, baik karena alasan kepraktisan, maupun karena tututan imej modern.
Keenam, distribusi dan redistribusi sumberdaya pariwisata yang tidak seimbang antar-warga masyarakat. Barangkali struktur sosial masyarakat desa lebih sederhana daripada masyarakat kota, namun relasi kekuasaan, budaya dan ekonomi mereka cukup rumit. Okupasi mereka tak lagi seragam, tetapi beragam, meskipun komposisinya tidak proporsional. Misalnya, sebagian besar bergantung pada pertanian, tetapi ada sebagjan kecil lainnya sudah bekerja di sektor off-farm dan nonfarm. Jelas bahwa nature dan pengalaman kerja mereka berbeda dengan rekannya di sektor pertanian. Relasi-relasi okupasional dan ekonomi seperti itu juga dipraktekkan dalam pengelolaan desa wisata. Sebagaimana digambarkan oleh Page dan Getz (1997), pariwisata pedesaan lebih banyak dimotori oleh sekelompok orang yang memiliki sumberdaya ekonomi (lahan, modal, bergerak, status pekerjaan yang baik) dan modal sosial (jaringan sosial, pengaruh, otoritas, pendidikan, status dan kedudukan sosial) di atas rata-rata warga desa. Hal ini berakibat pada ketimpangan distribusi sumberdaya pariwisata antar anggota masyarakat yang tidak jarang berujung pada disharmoni aatau bahkan konflik. Oleh sebab itu, penduduk miskin yang kebetulan memiliki modal sosial dari ekonomi yang terbatas akan sangat sulit menjadi pelaku utama atau pihak yang diberdayakan melalui pariwisata. Redistribusi sumberdaya pariwisata, atau jelasnya arus uang dan jasa yang masuk ke desa melalui kunjungan wisatawan, berpeluang untuk tidak menjangkau segmen penduduk miskin.

Tabel 1. Sumber Pendanaan Usaha Pariwisata
di Negara Maju dan Berkembang
No
Sumber Pendanaan
Negara Maju (%)
Negara Berkembang (%)
Total (%)
1
Dana sendiri
57
58
58
2
Keluarga dan kerabat
1
8
6
3
Investor
10
9
9
4
Pinjaman dari bank
21
11
14
5
Pinjaman dari pemerintah
3
2
2
6
Pinjaman pribadi
4
4
4
7
Lainnya
4
8
7
Total
100
100
100
Jlh Usaha ekowisata
25
74
99
Sumber : Sanders, 200:56
Peran bank tergolong masih kecil, kecuali jika unit usaha yang dikelola sudah mapan. Berbeda dengan tipe usaha lain seperti perdagangan, hasil usaha pariwisata tidak dapat dipetik dalam jangka pendek karena harus melalui rangkaian promosi yang khusus. Hal ini dipersulit lagi oleh fluktuasi pasar yang cukup tinggi. Selain membutuhkan waktu panjang, keberhasilan promosi usaha akomodasi di pedesaan tidak semata ditentukan oleh jenis dan mutu akomodasi itu sendiri, seperti bangunan fisik dan layanan bagi tamu, tetapi juga oleh realitas daya tarik destinasi secara keseluruhan. Semua ini sangat menentukan kemapanan usaha pariwisata.
Langkah Antisipasi
Isu-isu krusial pengelolaan desa wisata menuntut kita untuk merumuskan sejumlah tidakan antisipatif. Dengan mempertimbangkan kondisi objektif sebagian besar desa-desa wisata saat ini dan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya yang tersedia desa wisata agar dapat dilakukan dan dikendalikan oleh masyarakat lokal, maka paparan in mengusulkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Pertama, idealnya usaha tersebut berskala kecil agar mampu menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengasah ketrampilan bisnis (Nasikun, 1997; WTO, 2003). Salah satu bentuk konkretnya adalah jasa akomodasi, seperti homestay atau jenis usaha lain yang berskala kecil. Seperti umum diketahui, bahwa usaha-usaha kecil nonpertanian sudah cukup lama berkembang di pedesaan dan memberikan kontribusi penting bagi diversifikasi dan peningkatan pendapatan rumahtangga (Sawit, et.al, 1993; Effendi, et.al, 1996; Abdullah, et.al, 1995). Meskipun usaha-usaha demikian umumnya berskala mikro, namun pengelolanya memiliki ketrampilan khusus, keuletan, kerja keras yang produktif di dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat lebih mudah ditransformasikan ke sektor jasa, seperti usaha pariwisata.
Kedua, terkait dengan itu, usaha pariwisata di desa sebaiknya tidak padat modal (capital intensive), tetapi berbasis padat karya (labour intensive). Besaran modal ini lebih sesuai dengan kondisi umum yang dihadapi oleh pengelola usaha pariwisata tentang kesulitan memperoleh modal. Sebaliknya, membiarkan modal besar sebagai kekuatan pengembangan akan mengakibatkan tersingkirnya penduduk lokal dari arena kompetisi.
Ketiga, di dalam pengelolaan usaha pariwisata sebaiknya menggunakan tenaga kerja setempat, agar ancaman marjinalisasi penduduk lokal dalam pengembangan pariwisata pedesaan dapat dihindari. Memang syarat pemanfaatan tenaga kerja lokal ini cukup dilematis ketika berhadapan denean realitas mutu atau kompetensi yang masih rendah. Di sisi lain keterbatasan jumlah tenaga kerja trampil ini mengakibatkan okupasi-okupasi strategis di sektor pariwisata dikuasai oleh kaum pendatang (Vorlaufer, 1979; Damanik, 2001; Karim, 2008). Oleh sebab itu harus dicari solusi cerdas berupa pemberian pelatihan yang berorientasi pada kompetensi teknis bagi tenaga kerja lokal.
Keempat, pengelolaan desa wisata sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal. Penggunaan bahan baku lokal memiliki manfaat ganda, yakni memberikan efek atau nilai ekonomi sumberdaya lokal dan menguatkan citra lokal dalam desa wisata. Banyak contoh positif maupun negatif pengembangan desa wisata yang terkait dengan bahan baku lokal ini dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Di sebuah desa wisata di Sumba Barat Daya, terdapat bangunan akomodasi yang 90 persen berbahan baku lokal, mulai dari lantai, dinding, tiang, atap, pintu sampai perlengkapan tidur. Bambu, batang kelapa, pasir, dan ilalang yang tersedia melimpah menjadi lebih bernilai dari sebelumnya dan masyarakat setempat menikmati keuntungan dari pemanfaatan bahan baku tersebut. Berbeda dengan itu di Nias, masyarakat terlanjur gandrungmenggunakan bahan baku asing, seperti seng, asbes, beton dan kaca sebagai bahan bangunan akomodasi yang jelas bukan produk lokal, melainkan bahan yang didatangkan dari daratan Sumatera dengan biaya tinggi, Bisa dipastikan bahwa potensi rembesan keluar (leakages) dari hasil pariwisata setempat cukup besar, sementara peningkatan nilai ekonomi komoditas lokal menjadi macet.
Kelima, pengelolaan desa wisata sebaiknya mampu menekan potensi pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumberdaya lokal. Salah satu pilar kekuatan desa wisata adalah alam yang relatif asri dan lestari. Penggerusan kelestarian alam atas alasan apa pun pasti akan menjadi bumerang yang mematikan bagi desa wisata. Oleh sebab itu keseimbangan pemanfaatan kawasan menjadi syarat penting. Daerah pedesaan yang menawarkan pertanian sebagai basis atraksi wisata harus dikendalikan untuk tetap menjaga keseimbangan luas area pertanian dengan zona pengembangan infrastruktur pariwisata. Pemanfaatan sumberdaya lokal, misalnya air, yang digunakan baik untuk keperluan pertanian maupun pariwisata perlu dikendalikan agar tidak mematikan salah satu atau kedua aktivitas tersebut. Pedesaan yang mengembangkan pariwisata pantai dan bahari harus mampu menciptakan langkah pelestarian lingkungan, misalnya dengan membangun instalasi limbah cair dan padat, perluasan zona sempadan pantai yang steril dari bangunan buatan, ekspansi tanaman penyangga abrasi dan sebagainya.
Keenam, desa wisata seharusnya mampu membuka peluang kerja dan berusaha bagi banyak kelompok masyarakat. Pariwisata pedesaan harus diarahkan untuk memberagamkan kesempatan kerja dan keberagaman pekerjaan tersebut harus pula ditujukan bagi masyarakat banyak, khususnya kalangan perempuan. Asumsi yang mengatakan pariwisata mampu menciptakan kesempatan kerja harus dibuktikan dengan tingkat presisi yang tinggi, tidak hahya dalam hal kuantitas dan kualitas, tetapi juga dalam hal efektivitas menjangkau kelompok masyarakat yang sering luput dari sasaran perubahan. Di daerah pedesaan yang relatif tradisional, misalnya peran perempuan masih sering terlihat di bawah bayang-bayang laki-laki. Situasi yang sama bisa merambat ke dalam kegiatan di sektor pariwisata. Para ahli sudah lama mengisyaratkan masalah ketimpangan jender yang menyolok di dalam pasar kerja pariwisata. (Long dan Kindon, 1997; Swain, 1995; Scott, 1997; Chant, 1997; Purcell, 1997) yang memosisikan perempuan sebagai tenaga kerja di lapisan bawah dengan upah rendah, terkonsentrasi di sektor informal dan usaha kecil (Long dan Kindon, 1997),meskipun seringkali kualifikasi mereka sama dengan laki-laki (Purcell, 1997; Damanik, 1999), Posisi yang kurang lebih sama juga diduduki oleh perempuan di dalam bisnis pariwisata milik keluarga, yang ditandai oleh labilitas pekerjaan yang tinggi (Scott, 2007), ditambah dengan penghargaan yang rendah atas kinerja mereka. Solusi untuk mengurangi hal ini sebaiknya melekat di dalam rancangan pengembangan desa wisata, antara lain dengan menegaskan prioritas rekrutmen tenaga kerja bagi kalangan perempuan.

PENUTUP 
Kesimpulan

Pengelolaan desa wisata terkait dengan konsistensi dan komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan. Pengelola perlu menyadari bahwa desa wisata memiliki karakter yang berbeda dengan desa-desa konvensional lainnya, sehingga keuletan, kerjasama, kemampuan manajerial, sikap kewirausahaan dan profesionalisme yang kuat selalu menjadi faktor kunci di dalam memajukan desa wisata. Pengelolaan tidak bisa dilakukan secara `hit and run” dalam arti berbenah ketika musim telah tiba, lalu berdiam diri ketika wisatawan sepi. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, pengelolaan desa wisata sangatlah rumit dan hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Oleh sebab itu desakan terhadap pengembangan yang didasari oleh eforia terhadap desa wisata, apalagi untuk kepentingan politik (baca: proyek-proyek pemerintah dan lembaga penyandang dana lainnya), niscaya akan berdampak buruk dalam jangka panjang (Lewis, 1999), karena lebih berorientasi pada pencapaian target-­target kuantitatif dan pembentukan kebanggaan semu yang sering tidak memberikan kontribusi positif bagi pengembangan masyarakat desa itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar