Selasa, 25 Februari 2014

Ancol: Model Pengelolaan Bisnis Pariwisata Indonesia

Artikel ini disadur dari Kompasiana tertanggal 27 November 2011, menarik karena membahas beberapa fakta pariwisata Indonesia, perilaku manusia dan management yang dikembangkannya. Bagi Anda yang concern di bisnis pariwisata, semoga artikel ini membantu Anda untuk mengambil arah bisnis yang sedang Anda jalankan.


Menyebut kata Ancol, berbagai hal akan muncul di pikiran setiap orang. Baik yang sudah pernah, sedang dan bahkan yang belum pernah ke sana sekalipun. Bagi yang sudah pernah, banyak pengalaman yang bisa diceritakan kepada orang lain. Bagi yang sedang, apalagi. Bagi yang belum, dari berbagai informasi yang diterima, khususnya dari media cetak dan elektronik, mereka akan dapat membayangkan bahwa Ancol adalah sebuah tempat yang indah, nyaman, banyak suguhan atraksi menarik, hingga image tentang pantainya yang indah. Benar !

Bagi orang daerah, seperti saya, yang tak bisa tiap minggu masuk ke Ancol, andai daerah saya dan daerah-daerah lainnya bisa mengelola aneka potensi wisatanya sebagaimana Ancol dikelola, tentunya usaha pariwisata Indonesia di masing-masing daerah akan berkembang baik dan pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat.

Adalah tidak mudah untuk daerah bisa seperti Ancol. Untuk menjadi Ancol sekarang ini, perlu waktu, dana dan kepemimpinan yang dapat mengelola dan menghasilkan sesuatu dalam usaha pariwisata.

Sejak berdiri pada tahun 1966, Ancol telah diplot sebagai kawasan wisata terpadu oleh Pemda DKI Jakarta. Untuk mewujudkannya, Pemda DKI menunjuk PT. Pembangunan Jaya sebagai Badan Pelaksana Pembangunan (BPP) Proyek Ancol. seiring peningkatannya, pada tahun 1992 status BPP Proyek Ancol diubah menjadi PT. Pembangunan Jaya Ancol, sesuai dengan akta perubahan nomor 33, tanggal 10 Juli 1992. Sehingga terjadi perubahan kepemilikan dan prosentase kepemilikan saham, yakni 20 % PT. Pembangunan Jaya dan 80 % Pemda DKI Jakarta.

Pada tanggal 2 Juli 2004, Ancol ‘Go Public’, mengganti statusnya menjadi PT. Pembangunan Jaya Ancol TBK, dengan kepemilikan saham 72 % Pemda DKI, 18 % PT. Pembangunan Jaya dan 10 % oleh masyarakat. Tentunya, berbagai perubahan statusdi atas, intinya dimaksudkan, untuk lebih meningkatkan kinerja Ancol (Wikipedia, Blog : 9 November 2011).

Banyak usaha pariwisata yang dikelola di Ancol. Mulai dari pengelolaan kawasan pariwisata (rekreasi dan resort) dan kegiatan penunjang. Dengan konsep dasar ‘ area pariwisata terintegrasi’ seluas 552 Ha. Di dalamnya ada wahana kesegaran pantai dan taman, Dunia Fantasi, Atlantis Water Adventure, Gelanggang Samudera, Sea World, Putri Duyung Cottages, Padang Golf, Marina, Pasar Seni, Pulau Bidadari, Ritel, Hailai excecutive Club, Kereta gantung dan Wisata Kuliner. Serta didukung dengan hotel dan apartemen.

Dirunut ke belakang, dulunya Ancol disebut orang Belanda sebagai zoute land atau ‘tanah asin’. Karena, bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik ke darat dan menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin (Arie Saksono, “Kawasan Ancol, Dulu dan Sekarang”, Blog : 9 November 2011). Sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun 1656. Pembuatan kubu tersebut dianggap strategis guna pertahanan kota Batavia. Pada masa itu, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Adriaan Valckenier, memiliki rumah peristirahatan sangat indah di tepi pantai.

Seiring waktu, Ancol juga tak bisa dilepaskan dengan hal-hal seperti ; rumah peristirahatan dan plesiran Bintang Mas milik Oey Tambah Sia (anak raja tembakau Oey Thoa), cerita misteri si Manis Jembatan Ancol, tempat eksekusi tentara Belanda oleh Jepang, sampai kepada istilah Ancol sebagai tempat jin buang anak.

Nama-nama seperti Dr. Soemarno, Ali Sadikin dan Ir. Ciputra, tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan pembangunan Ancol pada masa-masa berikutnya. Pada awal berdirinya, ciri khas kawasan wisata Ancol ditandai dengan Teater Mobil.

Tentu timbul pertanyaan, kenapa membicarakan Ancol harus membuka sejarah lama ? Makna utamanya tak lain adalah Ancol sekarang dibangun tidak dalam waktu sekejap. Tidak instant. Bagi daerah-daerah — yang memiliki pantai maupun yang tidak — Ancol dapat dijadikan model dalam mengelola sebuah usaha pariwisata. Baik itu dari segi pengelolaan objek rekreasi maupun aspek pendukung lainnya.

Permasalahannya, banyak daerah mengelola potensi wisatanya separoh hati. Padahal, Indonesia secara umum, memiliki ragam potensi wisata yang bisa dikembangkan. Sayangnya, di masing-masing Pemerintahan Daerah, otonomi yang dikembangkan dan didengungkan, baru menyentuh wilayah-wilayah tertentu. Padahal, hakikat otonomi adalah bagaimana meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di daerah itu sendiri. Salah satu sumber daya agar taraf ekonomi masyarakat meningkat terletak dalam upaya mengemas pariwisata secara konsisten.

Ada beberapa daerah yang sebetulnya memiliki potensi objek wisata menarik, namun karena dikelola serampangan, nilai ekonomi yang semestinya meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Pengaruh otonomi, era keterbukaan dan reformasi lebih berkecenderungan mengurus soal-soal politik remeh temeh. Kepala Daerah yang diusung Partai Politik lebih suka dengan kegiatan-kegiatan ‘omong kosong’ yang ujung-ujungnya adalah terbentuknya pencitraan semu. Semua komponen di daerah lebih asyik bercerita tentang Pilkada berikutnya, ketimbang menggarap esensi pelaksanaan otonomi itu sendiri. Masyarakat pun larut euphoria demikian, yang sebenarnya menjerat leher mereka sendiri tanpa disadari.

WTO (World Tourism Organization) memperkirakan, prospek wisata ke depan sangat menjanjikan, bahkan sangat memberi peluang besar. Ada sekitar 1,602 milyar orang (tahun 2020) yang akan pergi berwisata di dunia ini. Di antaranya, sekitar 231 juta dan 438 juta wisatawan berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar 2 triliun USD (Setyanto P. Santosa, “Pengembangan Pariwisata Indonesia”, Blog : 19 April 2010).

Angka perkiraan tersebut tentu saja memberi angin segar kepada para pelaku pariwisata Indonesia. dan seharusnya tiap daerah di Indonesia merencanakan sesuatu yang serius untuk menjawab tantangan tersebut.

Secara umum, pariwisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar dan mendapat pelayanan secara bergantian di antara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri maupun di luar negeri, serta sementara waktu mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dari apa yang pernah dialaminya.

Mungkin dari segi objek, banyak objek wisata menarik di luar Indonesia. Menurut sejumlah pakar pariwisata, yang membedakan usaha pariwisata Indonesia dengan negara lain adalah dari segi manusianya. Kita dikenal secara umum sebagai manusia Indonesia yang ramah, mudah menerima tamu dan perilaku positif lainnya. Memang begitulah gambaran umum masyarakat Indonesia. Meski tidak dipungkiri, ada juga manusia-manusia Indonesia yang berkelakuan tidak mendukung terhadap kemajuan pembangunan usaha pariwisata, khususnya di daerah-daerah.

Hendaknya setiap aspek yang berhubungan dengan pariwisata dapat memenuhi syarat Sapta Pesona Pariwisata berupa ; Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah Tamah dan Kenangan.

Wisatawan akan senang mengunjungi objek wisata yang bebas dari tindak kejahatan, kekerasan, ancaman, pemerasan, gangguan oleh masyarakat setempat, kejahilan pedagang asongan dan lain-lain. Aman memberi makna pada fisik dan kejiwaan. Selain lalu lintas teratur, lingkungan tertata rapi, serta memiliki kesan baik yang melekat kuat pada ingatan dan perasaan seorang wisatawan disebabkan pengalaman yang diperolehnya.

Di sinilah peran Ancol mengemuka sebagai model pengelolaan usaha pariwisata di daerah-daerah. Kita tahu dan telah kita singgung sebelumnya, usaha pariwisata tidak terlepas dari manusia-manusianya. Apakah sebagai manejer, pelaku langsung di lapangan, maupun masyarakat di lingkungan kegiatan usaha pariwisata dilangsungkan.

Memasuki Ancol, khususnya bagi wisatawan dari daerah, umumya, pasti memiliki kerinduan untuk datang lagi. Ada kesan menyenangkan yang sulit dilupakan.

Selain menjalankan fungsi bisnis, Ancol kiranya diharapkan juga menjalankan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, melalui jalinan kerjasama saling menguntungkan dengan berbagai daerah yang memiliki keseriusan dalam mengelola usaha pariwisata di daerahnya.

Di beberapa daerah, persoalan ‘manusia’ yang berhubungan dengan usaha pariwisata adalah persoalan mendasar. Baik manusia yang terstruktur dalam kelembagaan formal maupun informal.

Kerjasama Ancol dengan daerah bisa dalam bentuk investasi langsung, transfer ilmu dan keahlian, dan lain-lain, tergantung kebutuhan daerah masing-masing.

Sehingga kita tidak melihat dan mendengar lagi, di daerah-daerah tertentu, objek wisata dikelola secara semi preman, sehingga membuat orang takut datang.

Pernah di sebuah kota, di sebuah objek wisata, sepasang anak muda ditangkap oleh segerombolan orang. Kepada mereka terjadi peristiwa tidak manusiawi, yang membuat semua orang di kota itu menyayangkan peristiwa tersebut. Padahal untuk memasuki objek wisata itu pengunjung dibebani retribusi. Untung, meski sempat diberitakan media massa dan ditindaklanjuti pihak berkepentingan, namun kasus tersebut raib begitu saja.

Atau di sebuah daerah lain, sewaktu memasuki pintu gerbang objek wisata, di loket retribusi kita dinanti segerombolan orang dengan wajah beringas, tanpa seragam resmi,  dan dari mulut mereka tercium aroma alkohol. Cara-cara memungut uang masuk pun tak memiliki tata krama. Serta beberapa peristiwa jelek lainnya yang sering terjadi di objek-objek wisata daerah.

Peristiwa di atas sebetulnya tak perlu terjadi, jika pengelola (Pemerintah Daerah sebagai pihak penerima retribusi), bekerja lebih sungguh-sungguh dan tidak asalan dalam menjalin kerjasama pengelolaan dengan pihak-pihak lain.

Kita berharap kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Ancol, akan memberi dampak lanjutan kepada kecintaan terhadap dunia pariwisata Indonesia secara luas.- Indra Martini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar