Rabu, 26 Februari 2014

Liberalisasi Industri Pariwisata Indonesia | Tantangan Sekaligus Peluang

Industri pariwisata Indonesia berkembang cukup pesat beberapa tahun terakhir ini, tahun 2013 yang telah lalu diperkirakan 8.8 juta turist berkunjung ke Indonesia, diharapkan tahun 2014 jumlah tersebut akan meningkat sampai angka 9.3 juta sd 9.5 juta atau kurang lebih 5-6 persen. Ini menggambarkan betapa potensi bisnis pariwisata begitu menggiurkan.

Bagaiman menyangkut kesiapan SDM pariwisata Indonesia sendiri menanggapi situasi ini? Setidaknya 2 tahun terakhir ini banyak bermunculan tour operator baru yang semakin menyemarakkan geliat bisnis pariwisata, sebagian operator tersebut mungkin hari ini masih belum memiliki sertifikasi dan surat ijin dari pemerintah yang berwenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha pariwisata. Namun inilah fakta bahwa sector swasta mampu menangkap dengan baik perkembangan pariwisata Indonesia. selajutnya adalah peranan pemerintah untuk menyelenggaraka sebanyak mungkin pelatihan agar mereka mereka memiliki standar penyelenggaraan pariwiata.

Persoalan standarisasi ini juga menjadi tantangan serius pemerintah di tengah tenggat watku MRA (Mutual Recogniton Arrangement = Kesepakatan Saling Mengakui) yang disepakati antar anggota ASEAN merupakan ikatan bagi para anggota ASEAN untuk memenuhi standar profesi tenaga kerja pariwisata sesuai ketentuan yang disepakati bersama melalui sertifikasi profesi tenaga kerja yang diakui sesama negara anggota ASEAN. Lebih lanjut mengenai MRA, ditengah-tengah ASEAN Tourism Forum di Manado baru-baru ini, terucap pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (MenParEKraf) bahwa liberalisasi jasa pariwisata ASEAN yang disepakati untuk dicapai pada tahun 2015 merupakan “tantangan serius” bagi Indonesia. Care Tourism - Liberalisasi Jasa PariwisataBetapa tidak? Di satu sisi, unsur utama produk pariwisata adalah jasa, – yang nota bene disajikan oleh tenaga kerja -, sehingga membawa konsekwensi logis memerlukan profesionalsme  di bidang pelayanan atau jasa pariwisata agar mampu bersaing. Di sisi lain, sebagian besar tenaga kerja pariwisata belum memiliki sertifikat profesi jasa pariwisata sebagaimana ditargetkan, sehingga untuk mencapai target 2015 masih memerlukan kerja keras dalam sisa waktu yang semakin mendesak. Berbeda dengan beberapa negara ASEAN lain, terutama Singapura dan Malaysia, demikian pula halnya dengan para mitra ASEAN, seperti India dan China, mereka lebih siap untuk bersaing di kancah pariwisata global, bukan sekedar regional, dibanding tenaga kerja pariwisata Indonesia. Dengan demikian, Indonesia dihadapkan bukan hanya pada tantangan tadi, melainkan juga pada ancaman dari “serbuan” para profesional pariwisata dari luar, jika industri dan tenaga kerja Indonesia tidak segera dipersiapkan dan mempersiapkan diri dengan serius.

Tantangan sekaligus Peluang
MRA, bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menciptakan tantangan bahkan ancaman, di sisi lain ia “menawarkan” peluang, terutama bagi tenaga Care Tourism - Sertifikasi Profesikerja profesional yang memiliki sertifikat standar profesi bertaraf internasional, minimal regional. Peluang itu harus kita lihat sebagai “insentif” bagi profesional pariwisata kita, bahwa dengan mengantongi sertifikat profesi yang berlaku regional atau internasional, mereka bisa diterima bekerja di manapun dalam lingkungan negara yang bersepakat. Mungkin investasi yang diperlukan untuk itu oleh yang bersangkutan dinilai mahal, namun kita harus juga menilai hasilnya yang tidak mustahil akan lebih besar, bahkan jauh lebih besar. Belum lagi ditinjau dari nilai positif bagi negara, mengingat bahwa para profesional yang mampu bekerja di luar Indonesia merupakan peluang sebagai “sumber penghasil devisa”. Satu hal lagi yang merupakan “advantage” dari sertifikasi standar profesi adalah meningkatnya daya saing jasa pariwisata kita. Jadi, liberalisasi jasa pariwisata seharusnya disambut positif, jangan dilihat hanya dari segi negatifnya belaka.

Perangkat Pelaksanaan
MRA mempersyarakan juga agar setiap negara mempersiapkan dan membentuk lembaga yang disebutnya sebagai Tourism Professional Certification Board (TPCB). Di Indonesia, kita sudah memiliki lembaga yang disebut Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang antara lain bertugas menetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) berbagai bidang kekaryaan, termasuk Jasa Pariwisata. Kiranya adalah satu hal yang menggembirakan bahwa kita sudah memiliki SKKNI bidang Biro Perjalanan, Hotel & Restoran, Spa, Jasa Boga, Kepramuwisataan (wisata, museum, arung jeram, wisata selam, ekowisata), Tour Leader dan MICE.

Dalam pelaksanaannya, pelatihan dan penilaian untuk mendapat sertifikat kompetensi profesi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang terdaftar, divalidasi dan diakreditasi oleh BNSP. Assessor yang berfungsi sebagai pelatih, penilai kompetensi profesi, harus berada di bawah bendera LSP. Para assessor tersebut wajib memiliki sertifikat atau lisensi, sebagai assessor, yang dikeluarkan oleh BNSP.

Kesimpulan:

Sebagai jawaban atas tantangan yang serius yang timbul dari Liberalisasi Jasa Pariwisata, – ASEAN khususnya, global pada umumnya -, seluruh Jajaran Pariwisata, termasuk Industri dan Tenaga Kerjanya perlu segera dipersiapkan dan mempersiapkan diri sejak sekarang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar