Industri pariwisata Indonesia
berkembang cukup pesat beberapa tahun terakhir ini, tahun 2013 yang telah lalu
diperkirakan 8.8 juta turist berkunjung ke Indonesia, diharapkan tahun 2014
jumlah tersebut akan meningkat sampai angka 9.3 juta sd 9.5 juta atau kurang
lebih 5-6 persen. Ini menggambarkan betapa potensi bisnis pariwisata begitu
menggiurkan.
Bagaiman menyangkut kesiapan SDM
pariwisata Indonesia sendiri menanggapi situasi ini? Setidaknya 2 tahun
terakhir ini banyak bermunculan tour operator baru yang semakin menyemarakkan
geliat bisnis pariwisata, sebagian operator tersebut mungkin hari ini masih
belum memiliki sertifikasi dan surat ijin dari pemerintah yang berwenang untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha pariwisata. Namun inilah fakta bahwa sector swasta
mampu menangkap dengan baik perkembangan pariwisata Indonesia. selajutnya
adalah peranan pemerintah untuk menyelenggaraka sebanyak mungkin pelatihan agar
mereka mereka memiliki standar penyelenggaraan pariwiata.
Persoalan standarisasi ini juga
menjadi tantangan serius pemerintah di tengah tenggat watku MRA (Mutual
Recogniton Arrangement = Kesepakatan Saling Mengakui) yang disepakati antar
anggota ASEAN merupakan ikatan bagi para anggota ASEAN untuk memenuhi standar
profesi tenaga kerja pariwisata sesuai ketentuan yang disepakati bersama
melalui sertifikasi profesi tenaga kerja yang diakui sesama negara anggota
ASEAN. Lebih lanjut mengenai MRA, ditengah-tengah ASEAN Tourism Forum di Manado
baru-baru ini, terucap pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(MenParEKraf) bahwa liberalisasi jasa pariwisata ASEAN yang disepakati untuk
dicapai pada tahun 2015 merupakan “tantangan serius” bagi Indonesia. Care
Tourism - Liberalisasi Jasa PariwisataBetapa tidak? Di satu sisi, unsur utama
produk pariwisata adalah jasa, – yang nota bene disajikan oleh tenaga kerja -,
sehingga membawa konsekwensi logis memerlukan profesionalsme di bidang pelayanan atau jasa pariwisata agar
mampu bersaing. Di sisi lain, sebagian besar tenaga kerja pariwisata belum
memiliki sertifikat profesi jasa pariwisata sebagaimana ditargetkan, sehingga
untuk mencapai target 2015 masih memerlukan kerja keras dalam sisa waktu yang
semakin mendesak. Berbeda dengan beberapa negara ASEAN lain, terutama Singapura
dan Malaysia, demikian pula halnya dengan para mitra ASEAN, seperti India dan
China, mereka lebih siap untuk bersaing di kancah pariwisata global, bukan
sekedar regional, dibanding tenaga kerja pariwisata Indonesia. Dengan demikian,
Indonesia dihadapkan bukan hanya pada tantangan tadi, melainkan juga pada
ancaman dari “serbuan” para profesional pariwisata dari luar, jika industri dan
tenaga kerja Indonesia tidak segera dipersiapkan dan mempersiapkan diri dengan
serius.
Tantangan sekaligus Peluang
MRA, bagaikan pedang bermata dua. Di
satu sisi, ia menciptakan tantangan bahkan ancaman, di sisi lain ia
“menawarkan” peluang, terutama bagi tenaga Care Tourism - Sertifikasi
Profesikerja profesional yang memiliki sertifikat standar profesi bertaraf
internasional, minimal regional. Peluang itu harus kita lihat sebagai
“insentif” bagi profesional pariwisata kita, bahwa dengan mengantongi
sertifikat profesi yang berlaku regional atau internasional, mereka bisa
diterima bekerja di manapun dalam lingkungan negara yang bersepakat. Mungkin
investasi yang diperlukan untuk itu oleh yang bersangkutan dinilai mahal, namun
kita harus juga menilai hasilnya yang tidak mustahil akan lebih besar, bahkan
jauh lebih besar. Belum lagi ditinjau dari nilai positif bagi negara, mengingat
bahwa para profesional yang mampu bekerja di luar Indonesia merupakan peluang
sebagai “sumber penghasil devisa”. Satu hal lagi yang merupakan “advantage”
dari sertifikasi standar profesi adalah meningkatnya daya saing jasa pariwisata
kita. Jadi, liberalisasi jasa pariwisata seharusnya disambut positif, jangan
dilihat hanya dari segi negatifnya belaka.
Perangkat Pelaksanaan
MRA mempersyarakan juga agar setiap
negara mempersiapkan dan membentuk lembaga yang disebutnya sebagai Tourism
Professional Certification Board (TPCB). Di Indonesia, kita sudah memiliki
lembaga yang disebut Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang antara lain
bertugas menetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) berbagai bidang
kekaryaan, termasuk Jasa Pariwisata. Kiranya adalah satu hal yang
menggembirakan bahwa kita sudah memiliki SKKNI bidang Biro Perjalanan, Hotel
& Restoran, Spa, Jasa Boga, Kepramuwisataan (wisata, museum, arung jeram,
wisata selam, ekowisata), Tour Leader dan MICE.
Dalam pelaksanaannya, pelatihan dan
penilaian untuk mendapat sertifikat kompetensi profesi dilakukan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP) yang terdaftar, divalidasi dan diakreditasi oleh
BNSP. Assessor yang berfungsi sebagai pelatih, penilai kompetensi profesi,
harus berada di bawah bendera LSP. Para assessor tersebut wajib memiliki
sertifikat atau lisensi, sebagai assessor, yang dikeluarkan oleh BNSP.
Kesimpulan:
Sebagai jawaban atas tantangan yang
serius yang timbul dari Liberalisasi Jasa Pariwisata, – ASEAN khususnya, global
pada umumnya -, seluruh Jajaran Pariwisata, termasuk Industri dan Tenaga
Kerjanya perlu segera dipersiapkan dan mempersiapkan diri sejak sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar