Rabu, 26 Februari 2014

Tantangan Pariwisata Indonesia

Sebagai sebuah negeri yang dianugrahi keindahan alam tiada tanding, Indonesia memang harus secara serius membuat pariwisata sebagai salah satu poin kebijakan penting secara Nasional, kemudian pada tahap selanjutnya bagaimana pemerintah pusat mampu membangun sinergi dengan pemerintah daerah dalam rangka memajukan pariwisata sebagai salah satu penghasil devisa.

Di bawah ini adalah sebuah kajian mengenai tantangan Pemerintah Indonesia apakah pusat atau daerah dalam kerangka pengembangan pariwisata Indonesia.
____

Selama ini, konsep sentralisasi telah mengakibatkan persaingan tidak sehat bagi usaha,high cost economy, serta pemiskinan daerah dan masyarakatnya. Maka, berakhirnya rezim otoriter Orde Baru, memunculkan kesadaran sekaligus tuntutan baru terhadap pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan serta kepentingan masyarakatnya di mana swasta diundang untuk berinvestasi dan berperan.
Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang satu paket dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bangsa Indonesia sedang menghadapi suatu era perubahan yang mendasar dalam pembangunan nasional. Perubahan tersebut pada prinsipnya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi atau penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah setingkat kabupaten.

Bagaimana insan pariwisata harus mempersiapkan diri menghadapi semua perubahan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada empat hal yang harus dilakukan: pertamalatar belakang munculnya otonomi daerah; kedua, apa saja yang diatur dalam UU No. 22/1999; ketiga, mencoba menemukan berbagai kelemahan dan kekuatan pariwisata kita selama ini; keempat, membuat berbagai analisis kemungkinan yang akan terjadi dengan penerapan UU No. 22/1999; dan kelima, bagaimana insan pariwisata harus bersikap terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Latar Belakang UU No. 22 Tahun 1999
Sejak lama bangsa ini mengalami persoalan pada konsep sentralisasi dalam pembangunan. Selama 30 tahun lebih, berbagai daerah merasakan ketidakadilan semata yang kemudian mengakibatkan kecemburuan dan melahirkan gerakan-gerakan pemisahan diri dari bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai akibatnya adalah semua bidang pembangunan menjadi bangunan rapuh yang siap runtuh saat diterjang badai. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sebuah budaya yang nyata antara pengusaha dan penguasa. Bidang-bidang bisnis hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yang dekat dengan pemerintah. Persoalan ini di daerah semakin rumit karena apa yang terjadi di tingkat pusat berakumulasi dengan lebih hebat di daerah.

Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 membuat kesadaran baru terhadap tuntutan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal berdasarkan aspirasinya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hadirnya UU No. 22/1999 bagaimanapun ditujukan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, sebagai tantangan untuk menghadapi era globalisasi. Prinsip dari kebijakan tersebut adalah kesadaran akan perlunya otonomi daerah dengan memberikan wewenang yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari segi substansi, undang-undang tersebut setidaknya mengatur, antara lain mengenai pembagian daerah, pembentukan dan susunan daerah, kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah, peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, hingga masalah kepegawaian daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan dan dewan pertimbangan otonomi daerah.

Peluang, Kendala, dan Strategi
UU Otonomi Daerah tentu memberikan dampak terhadap pengembangan dan perkembangan industri pariwisata. Berikut disajikan paparan singkat peluang, kendala, dan strategi yang akan dihadapi dan harus dilakukan oleh industri pariwisata dalam menghadapi pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Peluang dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah: 
  • Hampir seluruh daerah memiliki potensi kepariwisataan yang layak dijual.
  • Memiliki potensi pariwisata yang kaya dan beragam, mencakup jenis wisata alam, laut, sungai, gunung, flora dan fauna, budaya, sejarah, agama, aneka seni atraksi, konvensi, pameran, olahraga, dan sebagainya.
  • Letak gografis yang strategis.
  • Budaya masyarakat yang adaptif dan terbuka terhadap orang luar dan perubahan baru.
  • Aksesibilitas di beberapa daerah yang sudah mulai cukup memadai.
  • Kendala dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah.
  • Banyak daerah yang sebenarnya belum siap mengembangkan kewenangan otonomi daerah.
  • Belum ada kepastian hukum.
  • Banyak kebijakan dan peraturan baru di daerah yang tidak kondusif untuk melakukan investasi.
  • Kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat terhaadap pariwisata masih relatif rendah, citra keamanan yang relatif masih negatif.
Strategi dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah:
  • Adanya pemahaman yang benar dan tepat mengenai otonomi daerah di kalangan pemerintah, legislatif, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat luas.
  • Pembangunan parwisata daerah, hendaknya berorientasi pada pemanfaatan sumber daya pariwisata dalam jangka panjang dengan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar sejak dari awal.
  • Penyusunan rencana dasar pembangunan pariwisata di daerah, kiranya perlu memperhatikan dan diselaraskan dengan kebijakan nasional pembangunan pariwisata.
  • Perlu mengembangkan suatu pendekatan strategi pembangunan daerah yang berporos pada pariwisata.

Ancaman Terhadap Pariwisata
Sejak awal hadirnya, kebijakan otonomi daerah telah mendapat banyak kritik, terutama terhadap munculnya arogansi daerah. Arogansi ini diakibatkan berbagai keunggulan yang dimiliki suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain. Ada yang meyebut kebijakan tersebut akan membuat makin melebarnya jurang kesenjangan antar-daerah yang selama ini menjadi masalah bagi Indonesia. Artinya, daerah yang kaya akan semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan bertambah miskin. Ancaman yang paling serius, adalah munculnya paradigma sektoral yang menggilas peran lintas sektoral pariwisata. Tema Indonesia akan makin pudar ditelan tema-tema kedaerahan, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap pembangunan faktor pendukung pariwisata, seperti aksesibilitas, amenitas, atraksi, maupun promosi. Padahal, kita semua menyadari bahwa lintas sektoral dan tema ke-Indonesia-an merupakan inti dari pariwisata Indonesia masa kini dan masa datang. Namun, ada satu siasat untuk mengantisipasi ini, yaitu dengan berpikir Indonesia dan bertindak lokal, think globally act locally. Jadi ketika kebijakan diterapkan, setiap pemda maupun industri pariwisata harus memiliki konsep ini. Berpikir Indonesia berarti tidak menutup diri bagi kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan daerah.

Selain itu, muncul pula kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menyebabkan sentimen kedaerahan akan makin kuat. Boleh jadi akan tercipta kelompok-kelompok monokultur berdasarkan SARA di berbagai daerah. Misalnya, di Aceh yang kebetulan adalah mayoritas muslim, maka dari gubemur hingga kepala desa, dari pengusaha hingga karyawan biasa, pasti kebanyakan akan muslim. Demikian juga di daerah Indonesia Timur, karena mayoritas Kristen akan terjadi pemblokan kekuatan yang hanya didasarkan pada agama Kristen semata. Akibatnya, cita-cita kehidupan pluralisme sebagai bangsa Indonesia justru akan terganggu, bahkan membuka peluang bagi berulangnya friksi yang berdasarkan SARA.

Dalam kaitannya dengan dunia pariwisata, kemungkinan seperti ini, tentu saja menyulitkan pariwisata kita yang terkenal sangat mengandalkan heterogenitas dalam pelaksanaannya. Dari segi pertumbuhan usaha, keadilan berusaha dalam bidang wisata menjadi terganggu, sebab tidak mustahil seorang pelaku bisnis yang berasal dari daerah lain, mendapat kesulitan dalam mengembangkan bisnisnya di daerah lain karena hambatan blokade SARA tersebut.

Ancaman lain dapat berupa ketidakadilan dalam memberlakukan dan menarik pajak bagi daerah dari industri pariwisata. Kewajiban pemda untuk memacu penerimaan daerah melalui pajak dan penguatan lain yang sah, dikhawatirkan malah membengkak dibanding sebelum diterapkannya UU No. 22/1999. Sebenarnya ancaman demikian ini memang meragukan, sebab pada dasarnya setiap pemda justru akan membuka diri bagi industri apapun agar daerah dapat berkembang. Hal itu akan dipacu dengan pemberian insentif seperti keringanan pajak dan lainnya. Kalau ada pemda yang nekad melakukan “pemaksaan” pengenaan pajak yang dinilai kelewatan, pasti para investor maupun pengusaha akan berpikir panjang untuk menanamkan investasinya.

Di bawah ini akan diberikan berbagai ancaman lain yang apabila tidak diantisipasi akan dapat menghancurkan pariwisata di daerah maupun secara nasional.

Persoalan Aksesibilitas
Persoalan yang sangat rumit terjadi dalam bidang pariwisata di berbagai daerah setelah pelaksanaan undang-undang itu, adalah aksesibilitas, seperti bandar udara, pelabuhan laut, jaringan jalan, dan transportasi. Seperti diketahui, faktor maju mundurnya pariwisata sangat tergantung pada ada atau tidak dan baik atau buruk suatu aksesibilitas dari dan ke daerah tujuan wisata (DTW) di berbagai daerah. Sebagai contoh yang layak dipertanyakan, bagaimana nasib bandara atau pelabuhan laut yang ada di daerah setelah nantinya daerah diberikan wewenang penuh untuk menanganinya dan atau membiayainya?

Bagi Bali, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Riau, dan Kalimantan Barat, mungkin tidak punya persoalan, sebab pemutusan subsidi bagi operasionalisasi bandara maupun palabuhan laut akibat undang-undang otonomi dapat ditannggung setiap provinsi, sehingga tetap dapat beroperasi, bahkan dipacu lebih jauh melalui kebijakan otonomi. Tapi bagaimana dengan daerah lain, seperti NTT, NTB, Lampung, atau Nias? Dari mana mereka akan menggali dana untuk mengoperasikan bandara maupun pelabuhan laut? Bukankah lebih baik mereka menutup saja sebab terbukti operasionalisasinya hanya membuat pemda tekor? Itu baru bicara bandara, bagaimana dengan pelabuhann laut, maupun jaringan jalan? Dari mana mereka akan mengumpulkan dana bagi pembangunan maupun perbaikan aksesibilitas? Sebagai akibatnya, kematian pariwisata di daerah-daerah tertentu. Bila otonomi sudah sepenuhnya diberikan, maka ada beberapa daerah yang mengalami kebangkrutan.

Amenitas, Atraksi, dan Promosi
Dilihat dari semangat UU yang ingin menciptakan kreativitas bagi masyarakat maupun dunia usaha di daerah, maka kita dapat membayangkan adanya berbagai kemudahan yang akan ditawarkan pemda kepada masyarakat maupun dunia usaha di daerah. Di atas telah disebutkan beberapa dampak positif UU No. 2/1999, seperti kemudahan perizinan dalam arti birokrasi maupun pembiayaan, dan lainnya. Narnun begitu bukan berarti tidak ada ancaman serius dalam dunia pariwisata di daerah. Sama seperti aksesbibilitas, ditakutkan pembangunan hotel dan objek wisata hanya akan terjadi pada daerah-daerah yang kaya saja. Dengan kata lain, daerah-daerah yang miskin akan menelantarkan objek-objek wisata karena ketidakmampuan untuk menyediakan dana perawatan atau pengembangannya. Demikian juga dengan hotel-hotel atau prasarana penginapan lainnya, akan terjadi pola penumpukan hotel pada satu daerah tertentu yang pada tahap selanjutnya akan menambah keruwetan dalam penanganan dan menciptakan persaingan sehat antar-hotel. Demikian juga promosi, makin sulit untuk melakukan penyamaan visi ke-Indonesiaan dalam rangka pengumpulan dana promosi bersama dari daerah. Untuk itu, perlu dilakukan reformasi dalam bidang promosi ini, sehinngga nantinya justru meninggalkan keadaan yang lebih buruk dari yang pernah ada.

Oleh : Syarifah Aulia, Erwin Andriyani dan Fachri Aditya
Sumber : www.jejakwisata.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar