Sebagai
sebuah negeri yang dianugrahi keindahan alam tiada tanding, Indonesia memang
harus secara serius membuat pariwisata sebagai salah satu poin kebijakan
penting secara Nasional, kemudian pada tahap selanjutnya bagaimana pemerintah
pusat mampu membangun sinergi dengan pemerintah daerah dalam rangka memajukan
pariwisata sebagai salah satu penghasil devisa.
Di
bawah ini adalah sebuah kajian mengenai tantangan Pemerintah Indonesia apakah
pusat atau daerah dalam kerangka pengembangan pariwisata Indonesia.
____
Selama ini, konsep sentralisasi telah mengakibatkan persaingan
tidak sehat bagi usaha,high cost economy, serta pemiskinan daerah dan
masyarakatnya. Maka, berakhirnya rezim otoriter Orde Baru, memunculkan
kesadaran sekaligus tuntutan baru terhadap pemberian hak, wewenang, dan
kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
serta kepentingan masyarakatnya di mana swasta diundang untuk berinvestasi dan
berperan.
Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang satu paket dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, bangsa Indonesia sedang menghadapi suatu era perubahan yang
mendasar dalam pembangunan nasional. Perubahan tersebut pada prinsipnya
menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan
asas desentralisasi atau penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah setingkat kabupaten.
Bagaimana insan pariwisata harus mempersiapkan diri menghadapi
semua perubahan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada empat hal yang harus
dilakukan: pertama, latar belakang munculnya otonomi daerah; kedua,
apa saja yang diatur dalam UU No. 22/1999; ketiga, mencoba menemukan berbagai
kelemahan dan kekuatan pariwisata kita selama ini; keempat, membuat berbagai
analisis kemungkinan yang akan terjadi dengan penerapan UU No. 22/1999; dan
kelima, bagaimana insan pariwisata harus bersikap terhadap
kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Latar Belakang UU No. 22 Tahun 1999
Sejak lama bangsa ini mengalami persoalan pada konsep
sentralisasi dalam pembangunan. Selama 30 tahun lebih, berbagai daerah
merasakan ketidakadilan semata yang kemudian mengakibatkan kecemburuan dan
melahirkan gerakan-gerakan pemisahan diri dari bagian integral Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sebagai akibatnya adalah semua bidang pembangunan menjadi
bangunan rapuh yang siap runtuh saat diterjang badai. Praktek-praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme menjadi sebuah budaya yang nyata antara pengusaha dan
penguasa. Bidang-bidang bisnis hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yang
dekat dengan pemerintah. Persoalan ini di daerah semakin rumit karena apa yang
terjadi di tingkat pusat berakumulasi dengan lebih hebat di daerah.
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 membuat kesadaran baru
terhadap tuntutan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
lokal berdasarkan aspirasinya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hadirnya UU No. 22/1999 bagaimanapun ditujukan untuk
menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, sebagai
tantangan untuk menghadapi era globalisasi. Prinsip dari kebijakan tersebut
adalah kesadaran akan perlunya otonomi daerah dengan memberikan wewenang yang
luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi
keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari segi substansi, undang-undang tersebut setidaknya mengatur,
antara lain mengenai pembagian daerah, pembentukan dan susunan daerah,
kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah, peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah, hingga masalah kepegawaian daerah, keuangan daerah,
pembinaan dan pengawasan dan dewan pertimbangan otonomi daerah.
Peluang, Kendala, dan Strategi
UU Otonomi Daerah tentu memberikan dampak terhadap pengembangan
dan perkembangan industri pariwisata. Berikut disajikan paparan singkat
peluang, kendala, dan strategi yang akan dihadapi dan harus dilakukan oleh
industri pariwisata dalam menghadapi pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Peluang dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah:
- Hampir seluruh daerah memiliki
potensi kepariwisataan yang layak dijual.
- Memiliki potensi pariwisata yang
kaya dan beragam, mencakup jenis wisata alam, laut, sungai, gunung, flora
dan fauna, budaya, sejarah, agama, aneka seni atraksi, konvensi, pameran,
olahraga, dan sebagainya.
- Letak gografis yang strategis.
- Budaya masyarakat yang adaptif
dan terbuka terhadap orang luar dan perubahan baru.
- Aksesibilitas di beberapa daerah
yang sudah mulai cukup memadai.
- Kendala dalam kegiatan
pengembangan pariwisata di daerah.
- Banyak daerah yang sebenarnya
belum siap mengembangkan kewenangan otonomi daerah.
- Belum ada kepastian hukum.
- Banyak kebijakan dan peraturan
baru di daerah yang tidak kondusif untuk melakukan investasi.
- Kesadaran dan rasa kepemilikan
masyarakat terhaadap pariwisata masih relatif rendah, citra keamanan yang
relatif masih negatif.
Strategi
dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah:
- Adanya pemahaman yang benar dan
tepat mengenai otonomi daerah di kalangan pemerintah, legislatif, pelaku
industri pariwisata, dan masyarakat luas.
- Pembangunan parwisata daerah,
hendaknya berorientasi pada pemanfaatan sumber daya pariwisata dalam
jangka panjang dengan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar sejak dari
awal.
- Penyusunan rencana dasar
pembangunan pariwisata di daerah, kiranya perlu memperhatikan dan
diselaraskan dengan kebijakan nasional pembangunan pariwisata.
- Perlu mengembangkan suatu
pendekatan strategi pembangunan daerah yang berporos pada pariwisata.
Ancaman Terhadap Pariwisata
Sejak awal hadirnya, kebijakan otonomi daerah telah mendapat
banyak kritik, terutama terhadap munculnya arogansi daerah. Arogansi ini diakibatkan
berbagai keunggulan yang dimiliki suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah
lain. Ada yang meyebut kebijakan tersebut akan membuat makin melebarnya jurang
kesenjangan antar-daerah yang selama ini menjadi masalah bagi Indonesia.
Artinya, daerah yang kaya akan semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan
bertambah miskin. Ancaman yang paling serius, adalah munculnya paradigma
sektoral yang menggilas peran lintas sektoral pariwisata. Tema Indonesia akan
makin pudar ditelan tema-tema kedaerahan, yang selanjutnya berpengaruh besar
terhadap pembangunan faktor pendukung pariwisata, seperti aksesibilitas,
amenitas, atraksi, maupun promosi. Padahal, kita semua menyadari bahwa lintas
sektoral dan tema ke-Indonesia-an merupakan inti dari pariwisata Indonesia masa
kini dan masa datang. Namun, ada satu siasat untuk mengantisipasi ini, yaitu
dengan berpikir Indonesia dan bertindak lokal, think globally act
locally. Jadi ketika kebijakan diterapkan, setiap pemda maupun industri
pariwisata harus memiliki konsep ini. Berpikir Indonesia berarti tidak menutup
diri bagi kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan
daerah.
Selain itu, muncul pula kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan
menyebabkan sentimen kedaerahan akan makin kuat. Boleh jadi akan tercipta
kelompok-kelompok monokultur berdasarkan SARA di berbagai daerah. Misalnya, di
Aceh yang kebetulan adalah mayoritas muslim, maka dari gubemur hingga kepala
desa, dari pengusaha hingga karyawan biasa, pasti kebanyakan akan muslim.
Demikian juga di daerah Indonesia Timur, karena mayoritas Kristen akan terjadi
pemblokan kekuatan yang hanya didasarkan pada agama Kristen semata. Akibatnya,
cita-cita kehidupan pluralisme sebagai bangsa Indonesia justru akan terganggu,
bahkan membuka peluang bagi berulangnya friksi yang berdasarkan SARA.
Dalam kaitannya dengan dunia pariwisata, kemungkinan seperti
ini, tentu saja menyulitkan pariwisata kita yang terkenal sangat mengandalkan
heterogenitas dalam pelaksanaannya. Dari segi pertumbuhan usaha, keadilan
berusaha dalam bidang wisata menjadi terganggu, sebab tidak mustahil seorang
pelaku bisnis yang berasal dari daerah lain, mendapat kesulitan dalam
mengembangkan bisnisnya di daerah lain karena hambatan blokade SARA tersebut.
Ancaman lain dapat berupa ketidakadilan dalam memberlakukan dan
menarik pajak bagi daerah dari industri pariwisata. Kewajiban pemda untuk
memacu penerimaan daerah melalui pajak dan penguatan lain yang sah,
dikhawatirkan malah membengkak dibanding sebelum diterapkannya UU No. 22/1999.
Sebenarnya ancaman demikian ini memang meragukan, sebab pada dasarnya setiap
pemda justru akan membuka diri bagi industri apapun agar daerah dapat
berkembang. Hal itu akan dipacu dengan pemberian insentif seperti keringanan
pajak dan lainnya. Kalau ada pemda yang nekad melakukan “pemaksaan” pengenaan
pajak yang dinilai kelewatan, pasti para investor maupun pengusaha akan
berpikir panjang untuk menanamkan investasinya.
Di bawah ini akan diberikan berbagai ancaman lain yang apabila
tidak diantisipasi akan dapat menghancurkan pariwisata di daerah maupun secara
nasional.
Persoalan Aksesibilitas
Persoalan yang sangat rumit terjadi dalam bidang pariwisata di
berbagai daerah setelah pelaksanaan undang-undang itu, adalah aksesibilitas,
seperti bandar udara, pelabuhan laut, jaringan jalan, dan transportasi. Seperti
diketahui, faktor maju mundurnya pariwisata sangat tergantung pada ada atau
tidak dan baik atau buruk suatu aksesibilitas dari dan ke daerah tujuan wisata
(DTW) di berbagai daerah. Sebagai contoh yang layak dipertanyakan, bagaimana
nasib bandara atau pelabuhan laut yang ada di daerah setelah nantinya daerah
diberikan wewenang penuh untuk menanganinya dan atau membiayainya?
Bagi Bali, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Riau, dan Kalimantan
Barat, mungkin tidak punya persoalan, sebab pemutusan subsidi bagi
operasionalisasi bandara maupun palabuhan laut akibat undang-undang otonomi
dapat ditannggung setiap provinsi, sehingga tetap dapat beroperasi, bahkan
dipacu lebih jauh melalui kebijakan otonomi. Tapi bagaimana dengan daerah lain,
seperti NTT, NTB, Lampung, atau Nias? Dari mana mereka akan menggali dana untuk
mengoperasikan bandara maupun pelabuhan laut? Bukankah lebih baik mereka
menutup saja sebab terbukti operasionalisasinya hanya membuat pemda tekor?
Itu baru bicara bandara, bagaimana dengan pelabuhann laut, maupun jaringan
jalan? Dari mana mereka akan mengumpulkan dana bagi pembangunan maupun
perbaikan aksesibilitas? Sebagai akibatnya, kematian pariwisata di
daerah-daerah tertentu. Bila otonomi sudah sepenuhnya diberikan, maka ada
beberapa daerah yang mengalami kebangkrutan.
Amenitas, Atraksi, dan Promosi
Dilihat dari semangat UU yang ingin menciptakan kreativitas bagi
masyarakat maupun dunia usaha di daerah, maka kita dapat membayangkan adanya
berbagai kemudahan yang akan ditawarkan pemda kepada masyarakat maupun dunia
usaha di daerah. Di atas telah disebutkan beberapa dampak positif UU No.
2/1999, seperti kemudahan perizinan dalam arti birokrasi maupun pembiayaan, dan
lainnya. Narnun begitu bukan berarti tidak ada ancaman serius dalam dunia
pariwisata di daerah. Sama seperti aksesbibilitas, ditakutkan pembangunan hotel
dan objek wisata hanya akan terjadi pada daerah-daerah yang kaya saja. Dengan
kata lain, daerah-daerah yang miskin akan menelantarkan objek-objek wisata
karena ketidakmampuan untuk menyediakan dana perawatan atau pengembangannya.
Demikian juga dengan hotel-hotel atau prasarana penginapan lainnya, akan
terjadi pola penumpukan hotel pada satu daerah tertentu yang pada tahap
selanjutnya akan menambah keruwetan dalam penanganan dan menciptakan persaingan
sehat antar-hotel. Demikian juga promosi, makin sulit untuk melakukan penyamaan
visi ke-Indonesiaan dalam rangka pengumpulan dana promosi bersama dari daerah.
Untuk itu, perlu dilakukan reformasi dalam bidang promosi ini, sehinngga
nantinya justru meninggalkan keadaan yang lebih buruk dari yang pernah ada.
Oleh : Syarifah Aulia, Erwin Andriyani dan Fachri Aditya
Sumber : www.jejakwisata.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar